Namun, meski Gus Dur telah dinobatkan banyak kalangan, termasuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Bapak Pluralisme, pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32, isu ini masih dijadikan amunisi dalam kampanye negatif untuk tokoh-tokoh NU tertentu. Pada hari pertama muktamar bahkan muncul isu untuk menjegal calon-calon ketua umum yang disinyalir terlibat atau menganut gagasan-gagasan liberal.
Tidak sedikit orang yang langsung mengambil jarak ketika disodori gagasan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme. Pada 2005, Majelis Ulama Indonesia bahkan mengeluarkan fatwa haram terhadap tiga gagasan ini. Akibat fatwa itu masih terasa hingga kini. Di ranah politik, para politikus mendadak menghindari stigma sekuler, liberal, dan pluralis.
Ada sejumlah alasan yang dikemukakan untuk menolak gagasan-gagasan itu. Tulisan ini mencoba memberi jawaban terhadap sejumlah alasan penolakan tersebut.
Pertama, gagasan-gagasan itu dinilai berasal dari “luar”, yakni Barat. Ada asumsi bahwa gagasan luar tidak bisa diterima karena bangsa ini memiliki karakter dan budaya yang unik, sehingga persoalannya tidak bisa diselesaikan dengan memakai metode dan cara-cara luar. Apa yang disebut sebagai “luar” sangat problematik.
Lihatlah, misalnya, kelompok-kelompok yang sangat getol menolak gagasan tersebut. Orang-orang yang menolak gagasan “luar” itu biasanya datang dari kelompok yang mengatasnamakan dirinya Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Wahhabi, dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini pun memperoleh gagasannya dari luar, tidak genuine berasal dari Indonesia.
Letak persoalannya bukan bahwa gagasan-gagasan mengenai sekularisme, liberalisme, dan pluralisme benar-benar berasal dari luar, karena mereka yang menolak juga berangkat dari gagasan yang berasal dari luar. Betapa pun Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Islam adalah agama yang tidak lahir di Indonesia, melainkan agama yang lahir di jazirah Arab 14 abad silam. Enam agama yang memperoleh pelayanan negara adalah agama yang berasal dari luar alias agama impor.
Dengan begitu, menolak sekularisme, liberalisme, dan pluralisme semata-mata karena gagasan-gagasan itu berasal dari luar dan tidak sesuai dengan budaya setempat sangat tidak valid dan cenderung mengada-ada. Mereka yang menolak gagasan ini pun menggunakan gagasan-gagasan yang berasal dari luar.
Ke-“luar”-an sekularisme, liberalisme, dan pluralisme juga patut dibincangkan lebih jauh. Ketiga gagasan ini adalah respons terhadap realitas yang dihadapi oleh manusia. Sekularisme merespons absolutisme kekuasaan politik karena klaim otoritas Ilahi.
Persoalan semacam ini tidak hanya terjadi di Barat, tapi juga telah lama berlaku di Timur hingga sekarang. Ide mengenai pemisahan agama dan negara adalah upaya untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak absolut dan semena-mena.
Dalam sejarah Islam, gagasan mengenai pemisahan agama dan negara muncul secara genuine. Sebab, pada dasarnya setiap kekuasaan totaliter tidak mengenakkan dan akan mengundang reaksi penolakan.
Barangkali penolakan terhadap absolutisme kekuasaan politik tidak mesti dirumuskan secara filosofis, tetapi gerakan-gerakan semacam itu selalu muncul di setiap masa dengan intensitas yang berbeda-beda. Ini adalah sesuatu yang natural.
Gerakan liberalisme juga muncul di negara-negara muslim. Di Turki, misalnya, kelompok tarekat menggunakan ide-ide liberalisme untuk melawan kekuasaan militer. Mereka berupaya mendasarkan gagasan liberalismenya pada teologi Islam. Bagi mereka, Islam adalah agama liberal karena hanya dengan itulah mereka memiliki kekuatan melawan rezim diktator.
Sudah lama gagasan mengenai pluralisme dianggap sebagai solusi terbaik bagi pemecahan konflik di pelbagai wilayah berpenduduk muslim. Ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara damai dan konflik, tidak ada pilihan selain hidup tenang dalam perdamaian. Pluralisme bukan sesuatu yang baru. Ia melekat di dalam kehidupan setiap orang. Sebab, kita semua butuh hidup rukun dan damai.
Kedua, alasan bahwa sekularisme, liberalisme, dan pluralisme akan menggerogoti budaya lokal juga tidak bisa diterima. Pertanyaan utamanya adalah apakah yang dimaksud dengan budaya lokal? Bukankah semua hal yang sekarang mapan di Indonesia pada mulanya berasal dari luar? Bagaimana menentukan bahwa sebuah budaya luar bisa diterima dan yang lain harus ditolak?
Selanjutnya tentang potensi budaya lokal tergerogoti karena sekularisme, liberalisme, dan pluralisme juga patut dipertanyakan. Sejauh ini, baik secara teori maupun fakta, gagasan-gagasan itu justru sangat berguna bagi pengembangan budaya. Dengan tidak dicampur-baurnya otoritas politik dan agama, justru kehidupan beragama dan budaya bisa secara maksimal berkembang.
Liberalisme, misalnya, berasal dari pengakuan bahwa sebenarnya dunia ini dibangun di atas ketidaktahuan. Tidak ada yang lebih tahu apa yang terbaik untuk masa depan. Justru karena tidak ada yang lebih tahu di atas yang lain itulah maka diperlukan ruang kebebasan, agar setiap manusia bisa berekspresi.
Kesadaran bahwa manusia tidak sempurnalah yang menyebabkan ruang kebebasan dibutuhkan. Liberalisme membuka ruang kebebasan ketika setiap budaya, agama, dan ekspresi bisa muncul.
Jikapun ada budaya lokal yang terancam oleh karena ruang kebebasan yang terbuka, hal itu bukan persoalan yang perlu dirisaukan. Bukankah dunia ini terus berkembang? Segala sesuatu datang dan pergi silih berganti. Yang mampu menyesuaikan dirilah yang akan tetap bertahan.
Kita hidup untuk terus-menerus melakukan koreksi terhadap kehidupan yang sekarang kita alami. Kita harus membuka ruang bagi perubahan di masa depan. Itulah hukum dunia.
Koran Tempo, 7 April 2010 | Saidiman Ahmad | nalarpolitik.com
opini
Stigma Keagamaan dan Sejumlah Jawabannya
Satu-satunya politikus yang tidak pernah gentar dengan stigma sekuler, liberal, dan pluralis hanyalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).