Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan buku berjudul 'NU Penjaga NKRI'. Buku ini menceritakan pemikiran-pemikiran NU dalam perjalanannya menjaga NKRI.
Diskusi dan peluncuran buku ini digelar di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Selasa (10/4/2018). Buku ini ditulis oleh 22 penulis, dari Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis, Romo Benny Susetyo, K.H Agus Sunyoto, hingga KH. Husein Muhammad.
Peluncuran buku yang diterbitkan Kanisius ini menghadirkan Ketua PBNU Said Aqil sebagai Keynote Speaker, politisi muda Tsamara Amany, Agamawan Romo Benny Susetyo, Direktur SAS Institut Imdadud Rahmat, Peneliti LIPI Amin Mudzakir, serta Editor Buku Iip D Yahya sebagai narasumber.
"Dengan membaca buku ini, kita dapat melihat kembali perjalanan NU secara lebih santai, melihat berbagai capaian intelektual aktivis NU, dan menengok juga perkembangan NU secara global," kata Editor buku, Iip D Yahya.
Buku ini disebutnya juga menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang di luar diri NU mengapa NU spartan mempertahankan NKRI. Menurutnya, melalui tulisan-tulisan penulis, dijelaskan sikap tegas NU dalam mempertahankan NKRI tidaklah muncul secara tiba-tiba.
"Melainkan sejak dari awal mulanya," ujarnya.
Sementara itu, KH Said Aqil berpendapat buku ini seharusnya tidak hanya menekankan NU penjaga NKRI, tapi juga penjaga budaya. Sebab kalau budaya hancur, maka apa artinya bangsa ini.
"Bukan hanya menjaga keselamatan keutuhan geografinya. Keselamatan budayanya itu NU yang paling di depan. Kalau nggak ada NU Indonesia udah bubar ini. Untuk apa kita menjaga geografi tapi kalau budaya kita hancur. Kebesaran martabat, bangsa adalah budayanya. Kalau budayanya hancur maka bangsa tidak ada artinya," tutur Said.
Said mempersilakan putra-putri bangsa sekolah di luar negeri di penjuru dunia. Tapi, budaya Indonesia harus tetap dipertahankan.
"Saya katakan silakan sekolah di Australia Amerika silakan tapi pulang jangan bawa khamar (minuman keras), tetap nasi goreng sarapannya. Bawa teknologinya jangan bawa sarapan pakai beer. Begitu juga kuliah di Timur Tengah, saya, Gus Dur, Gus Mus, belajar di Arab. Tapi pulang nggak bawa jenggot. Bawa tafsir, hadit, fiqih. Dan jangan bawa cadar, bawa azan nggak apa-apa. Nah itu artinya kita menjaga budaya. Jauh lebih mulia budaya kita daripada barat dan Timur Tengah," lanjutnya.
Ketua DPP PSI Tsamara Amany juga mengapresiasi diterbitkannya buku ini. Menurutnya, buku ini memiliki pesan bahwa Islam dan nasionalisme bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan.
"Kalau dilihat dari judulnya, 'NU Penjaga NKRI'. Melihat judulnya sudah tidak diragukan lagi. Jadi kita tidak perlu menyatakan NU Penjaga NKRI untuk mengingatkan publik bahwa NU menjaga NKRI. Karena apa? Karena sejak awal NU adalah salah satu ormas Islam yang mendirikan negara ini," ujarnya.
(idh/idh)
*
Resensi Buku
Dalam sejarah panjang, Nahdlatul Ulama (NU) selalu memberi energi lebih untuk ikut ambil bagian dalam meredam beragam upaya yang merusak kebinekaan. NU mampu berperan sebagai kekuatan sosial berbasis agama dengan visi kebangsaan yang kukuh. Salah satu momentumnya, tahun 1984 NU menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final dan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia. Realitas kesejarahan ini sebagai suatu perkembangan tak ternilai harganya.
Buku yang diprakarsai Penerbit Kanisius bekerja sama dengan kaum muda NU ini menggambarkan kegigihan tersebut. Keteguhan NU menjaga keutuhan NKRI tak lepas dari peran KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Aktivis lintas-iman, Trisno S Sutanto, menjadi saksi Gus Dur kokoh pendirian dalam mengampanyekan pribumisasi Islam dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara (hal 222).
Kecintaan Gus Dur terhadap NKRI tak pernah luntur sampai akhir hayat. Romo Benny Susetyo menceritakan, tiga hari menjelang wafat, Presiden ke-4 itu lewat telepon berpesan kepadanya, “Fundamentalisme itu jangan dimusuhi, tetapi harus dicintai.” Pesan itu jelas menunjukkan Gus Dur sangat menghargai pluralisme dan kesatuan Indonesia.
Bagi Romo Benny, Gus Dur merupakan personifikasi NU. Dia rahim asal eksistensi dan pemikirannya. Tanah Air sangat dicintainya. NU adalah aset bangsa yang memiliki kontribusi begitu besar bagi pembangunan peradaban Indonesia dari masa lampau hingga kini. Maka, tak ada alasan untuk menolak NU sebagai bagian utama pilar keindonesiaan yang menggerakkan, mendorong, dan mengontrol Indonesia sebagai bangsa sekaligus menjadikannya rumah bersama (hal 312).
Pengalaman relasional dirasakan langsung oleh Romo Aloys Budi Purnomo. Melalui pergaulan dan persahabatan yang intensif dan impresif dengan Gus Mus, Habib Luthfi bin Yahya, dan keluarga besar Gus Dur, Romo Budi semakin yakin sikap NU melindungi minoritas akan terus mengakar. Ini menengok ketulusan dan keteduhan para tokoh panutannya (hal 283-297).
Bahkan, Romo Budi akhir-akhir ini mengalami heroisme pengungkapan kebangsaan dan kemanusiaan dari kaum muda NU melalui musik dan lagu yang bertajuk Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air). Acap kali mendengar dan menyaksikan lagu itu dinyanyikan bulu kudunya berdiri dan merinding. Jiwa dan nasionalisme berkobar dalam jiwa mereka untuk membela kehidupan umat manusia, kebangsaan, dan kemanusiaan (hal 304).
Pertanyaan fundamental, mengapa NU menjadi ormas yang amat vital sebagai unsur penenteram dalam kehidupan bangsa Indonesia? Hal itu dalam pandangan jernih Romo Franz Magnis Suseno karena NU mengambil sikap konstruktif. Dia tak pernah obstruktif, selalu terbuka bagi pendamaian dan penyehatan masyarakat Indonesia.
NU menunjukkan keterbukaan dan sangat toleran dengan kesediaannya untuk saling menerima dan bekerja sama dengan umat agama lain. Realitasnya bisa dilihat dari Banser NU sampai sekarang masih menjaga gereja-gereja di malam Natal dan Paskah. Selain itu, peran NU sangat positif kontruktif dalam konflik-konflik berbau agama di Indonesia Timur 1999-2002. Ini merupakan sumbangan besar NU terhadap rasa aman umat nonmuslim serta bagi perdamaian dalam masyarakat Indonesia (hlm 88).
Harapan terbesar Romo Magnis, NU senantiasa menampilkan wajah Islam yang sesungguhnya. Islam yang memancarkan sifat Tuhan paling pertama, yaitu belas kasihan, kebaikan hati, dan tanggung jawab kesejahteraan bagi semua.
Diresensi oleh Muhammad Syifa, Lulusan UIN Malang