Sejumlah alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) membentuk kelompok relawan untuk mendukung Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilu presiden tahun depan. Mereka menamakan diri sebagai "Bulaksumur untuk Memenangkan Jokowi 2019" atau yang disingkat Blusukan Jkw.
Ada ratusan alumni UGM yang meramaikan acara yang diselenggarakan di kawasan SCBD, Jakarta, pada Sabtu (28/7/2018). Mereka datang mengenakan kaos seragam berwarna hitam bertuliskan #2019TetapJokowi.
Hadir sejumlah politikus dan menteri yang sempat mengenyam pendidikan di kampus UGM. Ada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Selain mereka, hadir pula politikus Golkar Nusron Wahid dan Sekjen PPP Arsul Sani.
Dalam acara tersebut para pendukung Jokowi ini berembuk mengenai strategi apa yang bakal dilakukan pada masa kampanye nanti, demikian kata Ganjar Pranowo.
"Hari ini kami bertemu merumuskan kembali apa-apa yang mesti dibereskan di tempat masing-masing agar nanti di pemilihan presiden teman-teman ini berkontribusi nyata. Cara berkomunikasi masyarakat pun kami berharap betul tidak asal-asalan, tapi menggunakan data," kata Ganjar.
Sementara itu, Ketua Blusukan Jkw, Teguh Indrayana mengatakan fokus mereka nanti adalah kampanye via sosial media. "Kami bikin 'TV Blusukan' misalnya. Itu akan terus kami lakukan karena sekarang untuk mengumpulkan massa itu sudah repot," kata Teguh.
Teguh juga mengatakan ia dan teman-temannya akan fokus melawan hoaks menjelang Pemilu nanti. Mereka merasa hoaks mengenai Jokowi bakal bermunculan kembali seperti pada Pilpres 2014.
Menyinggung Lawan Politik
Selain berkumpul, para politikus yang hadir juga diberikan ruang untuk berpidato. Pada saat itu, mereka melontarkan berbagai sindiran kepada lawan politik Jokowi. Sindiran itu disampaikan oleh Hasto, juga Nusron.
Kias pertama disampaikan Hasto kala menjelaskan Jokowi merupakan pemimpin yang lahir dari "bawah". Menurutnya, kemunculan Jokowi sebagai pemimpin nasional bukan sesuatu yang dibuat-buat.
"Jadi tidak ada yang dari atas. Misal Pak Ganjar atau Pak Nusron dibawa kemana-mana oleh bapaknya, tidak ada. Jadi karena Pak Jokowi terlepas dari beban sejarah masa lalu, maka diharapkan dengan pengalaman yang luas ia betul-betul mampu membawa perubahan," ujar Hasto.
Politikus asal Yogyakarta itu memang tidak menyebut spesifik siapa sosok yang ia sindir. Namun, telah jadi rahasia umum dalam konteks politik nasional saat ini, politikus yang berkorelasi anak dan orangtua adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan sang putranya, Agus Harimutri Yudhoyono (AHY).
Sindiran lain disampaikan Nusron. Kali ini, politikus Golkar itu terang-terangan menyindir.
"Setiap ada kejadian selalu disampaikan 'kami sangat kecewa, kami sedih, kami prihatin' begitu tapi tidak selesai titiknya. Tetapi kalau Pak Jokowi diprioritaskan ada Perpres, ada tindakan penunjukan BPIP, revitalisasi pancasila, dan sebagainya," kata Nusron.
Konteks sindiran ini memang tak terpisahkan dalam konteks terkini soal kemesraan Gerindra dan Demokrat, menyusul pertemuan SBY dan Prabowo Subianto, belakangan ini.
Reaksi Demokrat
Kadiv Advokasi dan Hukum Partai Demokrat Ferdianand Hutahaean menyebut sindiran Hasto sebagai "opini murahan" karena mendegradasi seseorang yang menjadi lawan atau kompetitor politiknya.
"Ini tidak sehat dan menunjukkan betapa kerdilnya pola pikir Hasto," kata Ferdinand kepada wartawan, Minggu (29/7/2018).
Menurut Ferdinand, kepemimpinan seseorang itu selain ditentukan oleh garis keturunan, juga pendidikan. AHY adalah lulusan Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura. AHY, katanya, juga meraih "nama" dengan kerja keras.
"AHY keliling nusantara bertemu seluruh rakyat dan bukan seperti Jokowi dulu yang belum mengenai Indonesia secara luas tapi dibesarkan media."
Latar belakang seperti ini membuat siapa saja tak bisa menyebut AHY muncul di panggung politik nasional semata karena sentuhan orangtua.
"Mungkin Hasto sedang meratapi dirinya yang tidak seberuntung AHY," kata Ferdinand.
Adi Prayitno, pengamat politik dari UIN Jakarta, mengatakan deklarasi yang mengatasnamakan kampus tertentu akan terus bermunculan jelang Pilpres. Keuntungan bakal lebih signifikan jika yang mendukung adalah "orang kampus" besar semisal UGM atau UI karena mereka tersebar di berbagai daerah.
Meski toh pada kenyataannya kelompok yang tergabung sedikit seperti dalam kasus Blusukan Jkw ini, tetap saja itu berguna. "Secara psikologis dukungan itu makin menebalkan kepercayaan diri Jokowi," tambahnya.
tirto.id | Lalu Rahadian - Rio Apinino