Jokowi atau Prabowo, Siapa Yang Lebih Butuh NU?

Wasekjen PBNU Masduki Baidowi menyatakan NU akan lebih mendukung sosok yang memilih nahdliyyin sebagai cawapres.

Jokowi - Prabowo, Siapa Yang Lebih Butuh NU?
Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Muhammad Romahurmuzy, atau akrab disapa Romi, sempat mengungkapkan 10 nama kandidat cawapres pendamping Joko Widodo (Jokowi) yang masuk dalam tahap finalisasi. 

Pada 15 Juli lalu itu, Romi menyebut setidaknya empat tokoh berlatar belakang nahdliyyin atau warga Nahdlatul Ulama (NU) masuk daftar Muhaimin Iskandar, Mahfud MD, Rais Am PBNU KH Maruf Amin, dan Romi sendiri. 

Sehari berselang (16/7/2018), setelah Romi mengungkap 10 nama itu, Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), di Jalan Kramat Raya 164, Jakarta Pusat. Didampingi Sekjen DPP Gerindra, Ahmad Muzani dan Waketum Gerindra, Sugiono, mantan Danjen Kopassus tersebut melakukan pertemuan tertutup dengan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siraj, selama lebih kurang satu setengah jam. 

Usai pertemuan, setelah didesak berulangkali, Prabowo akhirnya mengakui maksud kedatangannya untuk mengonsultasikan nama cawapres pendampingnya kepada Said Aqil. “Namanya ada di kantong Kiai Said," kata Prabowo sambil menunjuk ke arah kantong baju Said Aqil. 

Tak cuma itu, Prabowo juga menyatakan tak akan memilih cawapres yang tak dipilih PBNU. Sementara, Said Aqil menanggapinya dengan menyatakan telah mendapat undangan dari Gerindra untuk memberi pendapat saat rapat penentuan cawapres Prabowo.

Direktur Populi Centre Usep S Ahyar menilai wajar NU sangat dipertimbangkan kubu Jokowi dan Prabowo. Alasannya, kata dia, dengan klaim 60 juta anggota di seluruh Indonesia, suara (kalangan) NU sangat signifikan untuk diabaikan dalam Pilpres. 

“Memunculkan tokoh NU sebagai kandidat cawapres dan pertemuan seperti yang dilakukan Prabowo bisa jadi legitimasi menggiring suara nahdliyin di daerah," kata Usep, Minggu (22/7/2018). 

Karena, kata Usep, kultur masyarakat NU cenderung masih mendengarkan para kiai sehingga pilihan politik nahdliyyin juga tak akan berbeda dengan para kiai dan pimpinan PBNU tersebut. "Terutama nahdliyyin yang di kampung-kampung, ya," kata Usep. 

Usep menilai Jokowi lebih membutuhkan legitimasi NU ketimbang Prabowo. Sebab, menurutnya, mantan Wali Kota Solo tersebut masih dianggap tak mewakili suara muslim. 

“[Propaganda] cap PKI dan didukung partai setan kepada Jokowi masih ada di benak sebagian besar pemilih Muslim. Cawapres NU bakal menetralisir itu," kata Usep. 

Hanya saja, Usep menilai, Jokowi juga mesti berhati-hati memilih cawapres dari NU. Sebab tidak semua empat nama tokoh NU yang muncul ke permukaan bisa diterima partai koalisi pendukungnya, seperti halnya Muhaimin dan Romi karena posisinya sebagai ketua umum partai. 

"Tentu partai lain akan sulit menerima mereka [Muhaimin dan Romi], karena yang lain juga ingin ketumnya jadi cawapres Jokowi," kata Usep. 

Selain itu, kata Usep, Jokowi mesti menyadari sulit membuat suara NU utuh. Karena, setelah memutuskan kembali ke khittah pada 1984, NU telah membebaskan kadernya untuk berpolitik sesuai kehendaknya masing-masing. 

"Jadi memang lebih besar keuntungannya buat melegitimasi Jokowi pro Islam saja, bukan an sich dapat suara," kata Usep. 

Berbeda dengan Usep, Pengamat Politik dari UIN Jakarta Adi Prayitno menilai Prabowo yang lebih membutuhkan legitimasi NU ketimbang Jokowi. Karena, menurutnya, saat ini di kubu Prabowo masih sangat minim tokoh-tokoh NU yang merapat. 

"Dulu mungkin ada Mahfud MD yang jadi jubir di 2014, tapi dia sudah bilang talak tiga dari Prabowo. Kalau di Jokowi kan ada PPP, PKB secara partai yang dekat NU, ada Nusron [Wahid] dan lain-lain," kata Adi kepada Tirto. 

Sementara, kata Adi, NU penting bagi Prabowo untuk melegitimasi dirinya masih bagian dari kalangan semua golongan Islam, bukan hanya alumni 212 seperti yang saat ini tercermin darinya. "Bagaimanapun jumlah Muslim yang mengaku moderat seperti NU lebih banyak ketimbang yang konservatif seperti [pendukung] 212," kata Adi. 

Di sisi lain, kata Adi, dengan menggaet cawapres dari NU, Prabowo bakal berpeluang menggaet suara pesantren-pesantren NU yang selama ini seperti menjadi lahan suara Jokowi saja. "Kalau dilihat ke belakang, kan, yang lebih rajin ke pesantren memang Jokowi. Ini yang harus dikejar Prabowo. Pemilih pemula di pesantren itu besar jumlahnya," kata Adi. 

Bagaimana Sikap NU?

Wasekjen PBNU Masduki Baidowi menyatakan NU tentu akan lebih mendukung sosok yang memilih nahdliyyin sebagai cawapres. 

"Jadi kami kembalikan lagi kepada Pak Jokowi dan lawannya, akan memilih tokoh NU atau tidak?” kata Baidowi kepada wartawan. 

Sikap ini, kata Baidowi, tidak bertentangan dengan keputusan NU kembali ke khittah 1926 sebagai organisasi keagamaan yang tidak berpolitik. Sebab, menurutnya, kembali ke khittah mesti dilihat latar belakang historisnya. 

Menurut Baidowi, kembali ke khittah diambil NU pada Muktaramar Situbondo 1984 lantaran saat itu Indonesia sedang berada di bawah rezim Soeharto yang represif terhadap Islam politik. Maka NU mengambil jalan tidak berpolitik agar dapat tetap eksis sebagai organisasi atau jamiyah. 

Sementara kondisi politik sekarang, menurut Baidowi, sudah berubah sehingga NU bisa lebih terbuka menyuarakan aspirasi politiknya, meski tidak menggunakan nama PBNU. "Itulah yang melatarbelakangi lahirnya PKB sebagai salah satu saluran politik NU," kata Baidowi. 

Baidowi menyatakan kondisi ini selaras dengan kaidah fiqh yaitu idza dzaqa ittasa'a wa idza ittasa'a dzaqa yang dalam bahasa Indonesia berarti "ketika tertutup membuka diri dan ketika terbuka menutup diri". Tertutup yang dimaksudkan Baidowi adalah saat rezim Soeharto dan terbuka adalah era reformasi. 

"Jadi kalau sekarang, dalam kondisi politik yang terbuka, langkah politik kami adalah mewujudkan tujuan politik NU. Kembali ke dalam," kata Baidowi. 

Tujuan politik NU, kata Baidowi, adalah memilih pemimpin yang membawa kemaslahatan sebagaimana kaidah fiqh tasharuful imam ala raiyati manutun bil maslahah atau — dalam bahasa Indonesia "sebaiknya imam kepada rakyat adalah yang membawa kemaslahatan". 

"Membawa kemaslahatan berarti menjaga keutuhan NKRI, menjaga ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai hasil konsensus bersama bangsa ini," kata Baidowi. 

Oleh karena itu, katanya, yang menjadi prioritas NU sekarang adalah membentengi Indonesia dari masuknya paham-paham agama radikal dan sekuler yang dinilainya bisa memecah belah bangsa. 

"Menjaga Pancasila dan NKRI itu lebih baik daripada persoalan-persoalan pemilihan-pemilihan yang sebenarnya sangat temporer, ya," kata Baidowi. "Yang dihadapi NU sekarang itu adalah ideologi-ideologi baru yang datang mengatasnamakan agama. Ancaman itu yang lebih diseriusi NU sekarang,” kata dia menambahkan. 

Respons Gerindra dan PDIP
Sekretaris Bidang Kaderisasi DPP PDIP Eva Kusuma Sundari menilai Jokowi tak mesti berdampingan dengan kader NU. "Menurutku Pak Jokowi akan konsentrasi ke kapasitas, bukan agama, apalagi Jokowi sendiri seorang muslim," kata Eva kepada Tirto. 

Dengan mempertimbangkan kinerja, menurut Eva, Jokowi akan memberikan pendidikan politik bahwa memilih pemimpin mestilah rasional dengan mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas. 

"Jadi yang penting kinerja dan kapasitas. Bisa dari birokrat, bisa dari profesional. Namanya siapa tunggu Jokowi saka," kata Eva. 

Sedangkan Gerindra lebih terbuka perihal peluang Prabowo berpasangan dengan tokoh NU. Ketua DPP Gerindra Habiburokhman menyatakan partainya tak hanya melihat NU sebatas kepentingan elektoral saja, melainkan perannya dalam perjalanan bangsa. 

"Tentu Pak Prabowo sangat menghargai NU dan sangat berpeluang berdampingan dengan tokoh NU," kata Habiburokhman kepada Tirto. 

Hanya saja, kata Habiburokhman, keputusan cawapres Prabowo bakal ditentukan setelah terjadi pembicaraan dengan partai koalisi. "Kita lihat saja nanti," kata dia.

tirto.id | M. Ahsan Ridhoi