Kominfo Tutup 3.195 Konten Radikalisme dalam 10 Hari

Ia menjelaskan dalam melakukan pemblokiran ini, Kemkominfo telah melakukan sejumlah langkah terutama bekerja sama dengan masing-masing pengelola platform media sosial.

Kominfo Tutup 3.195 Konten Radikalisme dalam 10 Hari
Sejumlah aksi teror yang terjadi di Indonesia membuat pemerintah terus memantau pergerakan di media sosial. Tidak bisa dipungkiri, teroris turut memanfaatkan platform media sosial untuk menyebar paham radikalisme dan menjaring anggota baru.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyadari hal ini dan terus mengawasi penyebaran konten radikalisme di media sosial.

Menurut Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemkominfo, Niken Widiastuti, dalam waktu 10 hari saja ada sebanyak 3.195 konten radikalisme yang bisa diblokir. Pemblokiran ini dilakukan lewat mesin sensor internet milik Kemkominfo bernama AIS.

"Jadi, semua per tanggal 21 Mei kurang lebih 10 hari (konten radikalisme) ditepis menggunakan Ais. Kita sudah menemukan dan memblokir sekitar 3195 konten (radikalisme)," kata Niken, dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 di gedung Kemkominfo, Jakarta, Rabu (30/5).

Ia melanjutkan, 3195 konten tersebut berasal dari berbagai platform media sosial, seperti Instagram, Facebook, dan Telegram.
"Itu semua yang mengandung radikalisme, terorisme, yang ada di berbagai platform media sosial. Termasuk Facebook, Instagram, dan Telegram," ujar Niken.

Tentu, jumlah tersebut jauh berbeda dengan data konten yang diblokir Kemkominfo pada tahun 2017. Menurut Niken, hanya sekitar 800 ribu konten yang diblokir sepanjang tahun 2017, itu pun didominasi konten-konten pornografi.

Kehadiran mesin sensor internet Ais sangat membantu Kemkominfo dalam menjaring konten-konten negatif di dunia maya. "Tahun lalu, Kominfo menutup 800 ribu akun masalah pornografi, tapi juga cukup banyak radikalisme," terangnya.

Ia menjelaskan dalam melakukan pemblokiran ini, Kemkominfo telah melakukan sejumlah langkah terutama bekerja sama dengan masing-masing pengelola platform media sosial.

"Tentu sudah ada pendekatan dari pemilik platform, dan mereka juga peduli. Kita juga enggak serta merta menutup, ada tahapannya, peringatan. Dalam kasus Kominfo menutup Telegram (tahun 2017), mereka mengabaikan surat Pak Menteri (Kominfo, Rudiantara). Makanya langsung ditutup, terus baru mereka datang ke Indonesia," papar Niken.

Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara mengungkapkan mesin Ais mampu melakukan pengaisan konten setiap 2 jam sekali.
Jika terjaring ada konten radikalisme atau terorisme di sebuah situs web, maka Kemkominfo akan langsung memberi arahan kepada penyedia jasa Internet agar memblokir situs web tersebut.

Meski begitu, masyarakat masih tetap diminta untuk terlibat aktif dalam melaporkan konten radikal atau terorisme yang dijumpai di media sosial atau aplikasi pesan instan. 

kumparan.com