"Siapakah yang disebut Nahdliyin (warga NU)?"
Kita mungkin mengira bahwa jawaban dari pertanyaan di atas semudah mengedipkan mata, begitu spontan dan tak perlu mengernyitkan dahi untuk menjawabnya. Akan tetapi, persoalannya ternyata tidak semudah itu. Untuk menentukan siapa Nahdliyin bisa menjadi persoalan rumit terutama jika melibatkan kepentingan individu-individu berpengaruh, terutama para elitnya.
Nahdliyin adalah sebuah identitas. Identitas sendiri tidak pernah bersifat primordial. Tidak seperti yang dipahami secara umum bahwa identitas itu bersifat fixed, langgeng, atau bahkan given, identitas sesungguhnya bersifat cair, bergeser-geser, tidak pernah tetap, dan sepenuhnya dikonstruksi secara sosial.
Tidak ada sebuah identitas yang begitu saja ada dengan makna yang melekat padanya secara pasti. Identitas terkait dengan makna atas label sosial, hubungan dan posisi seseorang dalam struktur sosial, dan lain sebagainya. Makna sebuah identitas selalu dinegosiasikan.
Ketika sebuah identitas dikonstruksi, ia tidak bisa dilepaskan dari kepentingan. Proses identifikasi terhadap salah satu kepentingan yang dianggap normatif oleh satu kelompok bisa jadi bertentangan dengan kepentingan sosial-budaya-politik oleh kelompok lain. Oleh karena itu, alih-alih menawarkan kepastian, identitas bisa menjadi sumber ketidakpastian, bahkan konflik (Ramstedt & Thufail 2011).
Sekalipun dalam kehidupan sehari-hari, identitas Nahdliyin jarang dipersoalkan, namun siapa sesungguhnya Nahdliyin tidak pernah jelas dan pasti. Apakah Nahdliyin adalah mereka yang memegang kartu anggota NU? Apakah Nahdliyin mengacu pada kelompok orang yang gemar melakukan ritual ala NU, semisal selamatan, shalawatan, istighasah, dan lain sebagainya?
Ataukah, mereka yang dianugerahi kartu anggota NU oleh pimpinan NU sekalipun tidak terlibat dalam ritual-ritual kultural NU? Jawaban tentang ini tidak bisa semata-mata diselesaikan melalui peraturan organisasi. Andaikan AD/ART bisa menyelesaikan pertanyaan ini, tentu tidak ada rebutan klaim Nahdliyin, baik oleh pimpinan NU maupun oleh politisi tertentu, terutama menjelang perhelatan politik, baik pilkada maupun pilpres.
Para kiai dan tokoh NU sendiri sering membanggakan besarnya jumlah anggota NU. Namun berapa sesungguhnya jumlah warga NU, tida pernah ada yang tahu secara pasti. Jumlah pasti warga NU tidak bisa semata-mata diselesaikan melalui survei. Antar-lembaga survei tidak pernah bersepakat tentang jumlah warga NU karena perbedaan parameter dalam menentukan siapa orang yang disebut sebagai Nahdliyin.
Jawaban tentang berapa jumlah warga NU terentang antara 60 hingga 143 juta jiwa. Jumlah ini sebagian didasarkan pada pengakuan, sebagian pada keterlibatan dalam ritual keagamaan populer ala NU.Kalau warga NU semata-mata diukur dari pemegang kartu anggota, para pimpinan NU sendiri tidak akan rela karena bisa-bisa NU menjadi ormas gurem karena banyak warganya yang tidak memiliki kartu anggota.
Sekalipun demikian, identitas Nahdliyin tidak selalu selonggar ini. Ketika menghitung jumlah anggota, pimpinan NU memang terbiasa menerapkan batasan yang sangat longgar. Namun batasan ini tiba-tiba berubah, terutama ketika kepentingan politik sedang bermain. Siapa Nahdliyin tiba-tiba menjadi sangat sulit dijawab dan tidak semua orang bisa menggunakannya sekalipun orang itu dianggap sebagai Nahdliyin ketika para pimpinan NU menghitung jumlah warganya.
Contoh paling riil tentang problematika identitas Nahdliyin adalah rebutan klaim Nahdliyin oleh para politisi yang hendak maju dalam pemilihan kepala daerah. Identitas Nahdliyin antara calon dan pemilih memiliki kriteria yang berbeda.
Bagi pemilih, identitas Nahdliyin dibuat selonggar mungkin agar bisa mewadahi sebanyak mungkin suara. Tapi identitas Nahdliyin bagi seorang calon pimpinan daerah justru sebaliknya, dibuat sesempit mungkin untuk mengeluarkan siapa saja yang tidak dikehendaki elit NU.
Calon kepala daerah hanya bisa disebut sebagai Nahdliyin jika “direstui dan didukung” oleh tokoh-tokoh penting NU. Warga Nahdliyin sekalipun memiliki kartu anggota NU dan aktif tahlil pun tidak akan dianggap sebagai calon Nahdliyin jika tidak didukung oleh tokoh-tokoh penting NU. Apa yang disebut dengan tokoh penting ini pun tidak mudah dijawab.
Seorang kiai bisa dianggap penting atau tidak penting tergantung pada apakah sedang dekat dengan kekuasaan NU atau tidak. Seseorang bisa tiba-tiba Nahdliyin atau bukan tidak mengacu pada aturan organisasi atau pengakuan diri atau keaktifan dalam jamaah tahlil. Identitas Nahdliyin ditentukan oleh proses-proses politik kekuasaan, negosiasi kultural antar-kelompok, dan pertarungan berbagai kepentingan.
Dalam konteks Pilgub Jatim, misalnya, siapakah calon gubernur Nahdliyin? Khofifah Indar Parawansa ataukah Saifullah Yusuf (Gus Ipul)? Ternyata, jawabannya tidak semudah hasil survei atau slogan “NU Kembali ke Khittah”.
Ahmad Zainul Hamdi | Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya.
nasional, opini
Berebut Identitas Nahdliyin
Nahdliyin adalah sebuah identitas. Identitas sendiri tidak pernah bersifat primordial. Tidak seperti yang dipahami secara umum bahwa identitas itu bersifat fixed, langgeng, atau bahkan given, identitas sesungguhnya bersifat cair, bergeser-geser, tidak pernah tetap, dan sepenuhnya dikonstruksi secara sosial.