Perjumpaan Islam dan internet memang tak tertahankan lagi, sehingga dampaknya tidak bisa kita hindari. Jika kita merujuk pada buku When Relegion Meet New Media karya Jose Casanova, kala Agama bertemu dengan dunia maya maka akan ada tiga masalah. Yaitu distingsi antar golongan yang berpotensi semakin menajam, interaksi dengan teks suci yang semakin rumit, dan fungsi otoritas keagamaan yang semakin kabur.
Bagi saya, ada dua hal yang menarik: interaksi kitab suci yang kian rumit dan fungsi otoritas keagamaan yang semakin kabur. Dalam perbincangan Islam di masa pascamodern sekarang perdebatan dua hal ini semakin urgent dibahas. Di dunia maya yang menuntut kecepatan, keterbukaan dan akselerasi yang menembus batas-batas, membuat struktur sosial harus beradaptasi dengan kehadiran internet. Oleh karena itu, dua hal tersebut adalah merasakan dampak paling serius dalam perjumpaan Islam dan internet.
Islam seperti agama besar lainnya, selalu mensyaratkan kehadiran otoritas keagamaan yang juga berkontribusi dalam menjaga identitas keberislaman. Dalam tradisi Islam, otoritas keagamaan ini dikenal dengan sebutan ‘Ulama’. Kehadiran ulama dalam perbincangan ruang publik sangatlah penting, berbeda dengan istilah kaum ningrat ataupun borjuis. Dalam teori Habermas, ulama sebagaimana otoritas keagamaan lain adalah subjek dalam mengidentifikasi perilaku, pemandu bagi pemeluk dan otoritas penerjemah teks keagamaan.
Ulama dalam agama Islam juga lebih bersifat personal bukan institusi, sebab itu kehadiran ulama dalam ruang publik islam lebih bersifat informal. Ulama yang disebut sebagai sumber otoritatif dalam menjaga dan menjelaskan dua sumber utama dalam ajaran Islam, yaitu Alquran dan Sunnah Rasulullah. Oleh sebab itu ulama juga dianggap penjaga keilmuan keislaman.
Dalam menjaga keilmuan tersebut, distribusi keilmuan pun sangat dijaga dalam tradisi Islam. Maka dikenallah istilah Ijaza, selain menjadi bukti atau tanda keotoritasan seorang ulama juga dianggap sebagai bukti hubungan guru dan murid antar dua orang.
Albert Hourani menuliskan “Di jantung umat Muhammad, berkumpul para sarjana keagamaan (ulama) yang mendalami Alquran, hadis, juga fiqih. Mereka mengklaim sebagai para pengawal umat dan ahli waris nabi”.
Hak otoritas ulama ini muncul sejak suksesi politik menggantikan Nabi sejak Islam awal hingga sekarang. Perbincangan persoalan otoritas ini memiliki perbedaan yang mendasar dalam dua tradisi besar dalam Islam, yaitu Sunni dan Syiah.
Dalam tradisi sunni, perbincangan ahli waris kenabian memiliki sejarah yang cukup panjang dan berliku. Pada masa awal pasca kenabian, perdebatan berpusat pada siapa yang akan menggantikan Nabi sebagai pemimpin umat (imamah atau khilafah). Pertanyaan yang muncul, jika kenabian memperoleh legitimasi dari wahyu maka apa yang akan menjadi basis legitimasi pasca kenabian. Perdebatan pun semakin panjang karena merentang pada pertanyaan sejauh mana otoritas pengganti nabi ini, apakah cuma dalam hal sosial-politik atau juga keagamaan. Perbincangan ini terus berkembang ketika masuk ke soal kesukuan, senioritas dan keturunan.
Tampaknya, arus sejarah memilih model kepemimpinan yang menyatukan otoritas keagamaan sekaligus sosial-politik, yang berbeda dengan kenabian-tak jarang ditegakkan dengan darah dan kekerasan. Namun, sekarang model pemisahan antara kekuasaan politik dan agama menyebabkan otoritas keagamaan pun dipegang oleh ulama atau kyai.
Otoritas keagaamaan sekarang ini dipegang oleh ulama atau kyai harus merasakan dampak yang cukup dalam persoalan internet dan Islam. Ulama atau kyai memang mendapatkan beberapa kemudahan saat perjumpaan ini bisa mempermudah dan mempercepat penyebaran keilmuan yang diajarkan. Namun kita tidak bisa menutup mata, kehadiran internet juga membawa dampak negatif, yaitu mengaburnya posisi ulama atau kyai dalam otoritas keilmuan terutama dalam soal produksi pengetahuan.
Di masa pascamodern sekarang ini, produksi pengetahuan tidak lagi sama dengan masa sebelumnya. Sebab, menurut pemahaman Anthony Giddens, di masa modern semuanya diatur dan disesuaikan dengan fungsi dan peruntukannya termasuk dalam dunia pengetahuan. Saat ilmuan dipercaya dalam memproduksi dan menjaga pengetahuan, maka diharapkan bisa menjaga pengetahuan tersebut bisa bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dewasa ini menurut Jean Francis-Lyotard, salah seorang konseptor awal dari “Pascamodernisme”, kita telah memasuki pintu gerbang era pascamodern di mana sains, teknologi, dan sistem administrasi yang njilimet, serta komputer berkembang pesat sedemikian pesat sehingga “pengetahuan menjadi prinsip produksi yang menentukan selama beberapa dekade ini”. Di era ini, ada perubahan mendalam dari pengetahuan dan informasi terkait kepada dua cara ini.
Pertama, prinsip performativitas yang mana pengetahuan dan informasi dikumpulkan, dianalisis, dan diproduksi kembali yang digunakan atau dinilai berdasarkan kegunaannya. Kedua, pengetahuan dan informasi sebagai komoditas yakni bisa diperdagangkan kepada siapa saja.
Konsekuensi yang muncul dari dua perubahan ini adalah ; 1) Jika prinsip performativitas diterapkan, maka informasi/pengetahuan yang tidak bisa dinilai kegunaannya akan dengan sangat mudah disingkirkan. 2) Pergeseran pengetahuan dari universitas atau perguruan tinggi menuju lembaga-lembaga pemikir independen, seleksi riset dan lain-lain, sehingga harus ada pendefenisian ulang terhadap lembaga otoritas keilmuan. 3) Kebenaran bukan lagi berdasarkan hasil pemikiran dari fakta yang tak terbantahkan, namun malah disesuaikan dengan permintaan-permintaan yang akan dijawab oleh institusi yang bersangkutan. 4) Terjadinya perubahan apa artinya menjadi seseorang yang terdidik. Dulu orang terdidik adalah orang yang mempunyai pengetahuan dalam bidang tertentu, sekarang orang lebih sering menggunakan atau mengakses bank data di komputer daripada menyimpannya di dalam kepala.
Dari sinilah kita bisa memahami bagaimana hoaks sekarang ini merajalela, bahkan dipercaya sebagai sebuah pengetahuan yang tidak lagi perlu disaring dan ditabayyuni untuk bisa dipilah. Dengan melemahnya posisi ulama dalam menjaga pengetahuan untuk kepentingan publik secara keseluruhan, maka hoaks akan selalu bisa menguasai pemikiran masyarakat kita. Karena informasi yang disampaikan kepada masyarakat sudah diracuni, dikonstruksi juga disesuaikan dengan kepentingan oligarki dan pemodal.
Efeknya terkadang, ayat, hadis dan ujaran ulama pun digunakan dengan serampangan untuk melegitimasi hoaks tersebut.
Posisi ulama yang didapuk sebagai pemandu perilaku pemeluk dan otoritas penterjemah teks suci menjadi sangat vital, khususnya saat memerangi hoaks. Terutama kala agama diseret-seret menjadi legitimasi kabar bohong atau hoaks untuk melanggengkan para oligarki dan pemodal menikmati kekuasaan yang tak adil pada masyarakat umum.
Jangan sampai ayat-ayat di kitab suci dan ajaran para ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik busuk yang jelas tak berpihak pada masyarakat. Sebab ulama itu sumber pengetahuan, bukanlah produsen hoaks
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin
islam.co | Supriansyah
hikmah, opini
Jangan Sampai Ayat Suci atau Ulama Dimanfaatkan Politisi Busuk
Jangan sampai ayat-ayat di kitab suci dan ajaran para ulama dimanfaatkan untuk kepentingan politik busuk yang jelas tak berpihak pada masyarakat. Sebab ulama itu sumber pengetahuan, bukanlah produsen hoaks. Lalu bagaimana menghindarkan ulama kita dari politisi busuk?