Lima Alasan Reuni 212 tak Banyak Ubah Elektabilitas Capres

Hasil survei LSI Denny J.A. menunjukkan bahwa Reuni 212 pada 2 Desember lalu tidak berpengaruh signifikan meningkatkan elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Lima Alasan Reuni 212 tak Banyak Ubah Elektabilitas Capres
Hal itu terlihat dari elektabilitas kedua pasangan calon sebelum dan pasca pelaksanaan Reuni 212.

"Pascareuni 212, elektabilitas kedua capres tidak banyak berubah dan cenderung stagnan," kata peneliti LSI Denny J.A., Adjie Alfaraby, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (19/12).

Sebelum Reuni 212, survei LSI Denny J.A. pada bulan November 2018 menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 53,2 persen dan elektabilitas Prabowo-Sandi 31,2 persen. Pascareuni 212, menurut Adjie, survei LSI Denny J.A. pada bulan Desember 2018, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 54,2 persen dan elektabilitas Prabowo-Sandi 30,6 persen.

"Ada lima alasan mengapa Reuni 212 tidak banyak mengubah elektabilitas kedua capres dan tidak punya efek elektoral yang signifikan," ujarnya.

Pertama, kata Adjie, mayoritas pemilih yang suka dengan Reuni 212 sudah memiliki sikap yang sulit dipengaruhi Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab. Pemilih menolak dipengaruhi, terutama terkait dengan ide NKRI bersyariah dan seruan ganti presiden.

Ia menyebutkan 83,2 persen pemilih yang suka dengan Reuni 212 menyatakan pro dengan konsep NKRI berdasarkan Pancasila dan hanya 12,8 persen yang setuju dengan NKRI bersyariah. Sebesar 43,6 persen dari mereka yang menyatakan memilih Jokowi-Ma'ruf dan 40,7 persen yang akan memilih Prabowo-Sandi.

Alasan kedua, lanjut Adjie, di pemilih yang berafiliasi dengan FPI mengalami peningkatan terhadap pasangan Prabowo-Sandi. Sementara itu, menurut dia, pemilih yang berafiliasi dengan PA 212 dukungan terhadap Prabowo-Sandi pada buolan November 2018 sebesar 70,4 persen dan meningkat 82,6 persen.

Yang ketiga, kepuasan terhadap kinerja Jokowi secara umum masih tinggi, berdasarkan survei Denny J.A. pada bulan November 2018 sebesar 72,1 persen. Adapun, sebelum Reuni 212, kepuasan terhadap kinerja Jokowi 69,4 persen.

Alasan keempat, menurut Adjie, Ma'ruf Amin menjadi jangkar Jokowi untuk pemilih muslim, yaitu terhadap isu-isu identitas yang berpotensi menggerus elektabilitas. Ia menyebutkan sebesar 65,8 persen pemilih menyatakan simbol Islam tidak bisa untuk menggerus dukungan Islam kepada Jokowi karena cawapresnya adalah seorang pemimpin ulama.

"Hanya 17,4 persen publik menyatakan bahwa simbol Islam bisa menggerus dukungan pemilih terhadap Jokowi," katanya.

Alasan kelima, menurut Adjie, pemilih menilai Jokowi bukan musuh bersama umat Islam, sehingga gerakan Reuni 212 tidak bisa untuk menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama. Adjie mengatakan, bahwa sebanyak 74,6 persen pemilih menyatakan Reuni 212 tidak bisa menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama pemilih muslim dan hanya 14,5 persen yang menyatakan Reuni 212 bisa menjadikan Jokowi bisa sebagai musuh bersama pemilih muslim.

Survei LSI Denny JA ini dilakukan terhadap 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia dengan metode multistage random sampling. Wawancara dilaksanakan secara tatap muka dengan menggunakan kuisioner. Adjie mengatakan, margin of error survei ini sebesar 2,8 persen.

Massa Anti-Ahok

Pengamat Politik dari Universitas Indonesia (UI) Maswadi Rauf memiliki pandangan soal massa Reuni 212 di Monas, Jakarta. Menurut guru besar ilmu politik UI ini hal yang menggerakkan ratusan ribu atau jutaan massa Reuni 212 adalah pembelaan terhadap agama Islam, bukan dukungan terhadap Prabowo.

"Justru yang menentukan dari Reuni 212 kemarin adalah mengingat kembali perjuangan mengalahkan Ahok. Jadi isunya adalah siapa yang mendukung Ahok atau bukan mendukung Ahok. Bukan siapa mendukung Prabowo atau bukan," ujarnya kepada wartawan, Senin (3/12).

Ia menjelaskan, Reuni 212 didasari semangat membela agama Islam, yang sukses mengawal kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok soal penistaan dan penodaan agama. "Tema bela Islam, terbukti masih sangat relevan sampai sekarang," katanya.

Maswadi mengatakan, Reuni 212 pada tahun ini juga ingin menunjukkan bahwa kekuatan persatuan umat Islam itu sangat mandiri. Umat Islam tidak diintervensi kekuatan partai politik dan elite-elite ormas Islam.

Hal ini terbukti dengan imbauan pimpinan ormas Islam besar, baik NU dan Muhammadiyah, agar tidak ikut reuni 212, ternyata tidak terlalu didengarkan. Sebab, isu penting pada acara Reuni 212, yakni kasus penistaan agama oleh Ahok.

Dengan demikian, menurut Maswadi, dukungan massa Reuni 212 terhadap capres masih sangat cair meski Prabowo menghadiri acara tersebut. Ia mengatakan, dukungan massa Reuni 212 belum bisa dipastikan ke Jokowi atau Prabowo karena bukan dukungan capres yang menjadi semangat reuni tersebut.

Persoalannya sekarang, lanjut dia, bagaimana posisi Ahok yang dikabarkan akan bebas pada Januari 2019. Kalau Ahok kemudian berafiliasi ke partai politik atau mendukung calon presiden tertentu, maka sentimen dari jutaan massa Reuni 212 akan mengarah ke sana.

"Apakah ketika Ahok bebas nanti akan mendukung Jokowi atau tidak. Kalau Ahok akhirnya mendukung Jokowi, maka dukungan massa reuni 212 kemarin semakin bisa dikapitalisasi untuk mendukung Prabowo," kata Maswadi.

republika.co.id | Ronggo Astungkoro, Antara, Amri Amrullah