Jadwal padat acara muktamar tak menyurutkan mereka untuk menghadiri rapat malam itu, Selasa (27/11). Malam sebelum pemilihan ketua umum baru berlangsung keesokannya.
Puluhan mata para pemuda itu tertuju pada satu sosok: Amien Rais.
Selama kurang lebih lima menit, Amien yang ketua umum Pengurus Pusat Muhammadiyah periode 1995-2000 itu berpidato. Di hadapan audiens yang berusia separuh lebih muda dari umurnya, ia berkata, “Ada pesanan kekuatan yang betul-betul berbahaya buat Islam lewat Ketum dan Sekjen Muhammadiyah.”
Politikus 74 tahun itu lalu menyebut nama Haedar Nashir dan Abdul Mu’ti, Ketua dan Sekretaris PP Muhammadiyah yang masuk dalam tim pemenangan Sunanto, salah satu calon ketua umum Pemuda Muhammadiyah.
Amien menegaskan kepada hadirin, calon terbaik pengganti Dahnil Anzar―yang saat itu duduk di belakangnya―adalah Ahmad Fanani.
“Siapa pun, asal bukan Sunanto,” katanya lagi.
Bagi Amien, kondisi pemilihan ketua baru Pemuda Muhammadiyah genting, sebab ia mencurigai adanya intervensi pemerintah.
Muktamar Pemuda Muhammadiyah kali ini terasa lebih panas dari yang pernah digelar. Amien datang dengan kepentingan Pilpres 2019 walau tak pernah menyebut nama jagonya. Tapi jargon soal capres yang ‘berpihak pada Islam’ terus ia sebut.
“Harapan kami kepada anak-anak Pemuda Muhammadiyah, jadi permainan (politik) ini tinggal 4,5 bulan lagi. (Pemilu Presiden) 17 April itu akan ada kebaruan, apakah kekuatan islamofobia akan memimpin, apakah unsur PKI akan menang,” ujar Amien, kakek dengan 10 orang cucu itu.
Pemuda Muhammadiyah punya kemandirian sangat tinggi. Pak Amien menerima informasi yang tidak akurat dari sumber yang tidak dapat dipercaya. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah
Amien Rais seolah tak kenal lelah. Tujuh hari sebelumnya, Selasa (20/11), ia sempat mengancam akan menjewer Haedar Nashir jika Muhammadiyah tidak menentukan arah dukungan politik di Pemilu Presiden 2019.“Di tahun politik, tidak boleh seorang Haedar Nashir memilih menyerahkan ke kader untuk menentukan sikap di pilpres. Kalau sampai seperti itu, akan saya jewer,” ujar Amien di sela Tablig Akbar dan Milad ke-106 Masehi Muhammadiyah, Islamic Center Surabaya.
Meski begitu, Amien tidak pernah menyebut nama pasangan calon nomor urut dua, Prabowo-Sandi, dalam pidatonya. Seperti kata Amien, “Tanpa harus saya sebut nama, pasti Muhammadiyah sudah tahu.”
Itu sudah tentu, sebab Amien selama ini bersetia di gerbong yang sama dengan Prabowo, bahkan sebelum PAN―partai yang ia dirikan―menentukan arah koalisi.
Apa yang disampaikan Amien di tengah anak-anak muda Muhammadiyah kian diperkuat oleh pernyataan Dahnil Anzar. Mantan ketua Pemuda Muhammadiyah yang kini menjadi koordinator juru bicara Prabowo-Sandi mengatakan bahwa ia mendukung Ahmad Fanani.
“Rezim yang sekarang ini terus mengganggu dan tidak mau Pemuda Muhammadiyah menjadi kelompok kritis,” ujar Dahnil mengawali pidatonya. Ia mencurigai adanya politik uang dalam muktamar kali ini.
Dengan tegas ia menyampaikan dukungannya terhadap Ahmad Fanani. “Saya sejak awal menyampaikan, saya mendukung Ahmad Fanani melanjutkan estafet kepemimpinan. Kenapa saya berani begini? Karena saya lihat ada ancaman serius,” tuturnya disambut tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton.
Salah satu ancaman yang dimaksud Dahnil yakni kasus dugaan dan fiktif Kemah Pemuda yang menyeret namanya. Bagi Dahnil, kasus itu adalah upaya untuk mengkriminalisasi dan mendelegitimasi dirinya.
Ia melanjutkan pidatonya dengan memuji kehadiran Amien Rais yang ‘masih mau’ berhadapan dengan para pemuda Muhammadiyah. “Tidak mungkin Pak Amien mau datang berhadapan dengan teman-teman menyampaikan pesan. Ini genting, dan kita tidak boleh membiarkan,” ucap Dahnil.
Sebelum menutup pidatonya, Dahnil menegaskan “Teman-teman yang sudah terima uang, jangan pernah peduli dengan (uang) itu.” Ia menganjurkan agar uang tersebut tetap diambil, sembari tetap memilih ketua yang bisa mengembalikan marwah Pemuda Muhammadiyah.
Anjuran serupa yang ia sampaikan dalam pidatonya di pembukaan Muktamar Pemuda Muhammadiyah XVII yang berlangsung pada 25-28 November 2018 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
“Kini, otomatis PP Pemuda Muhammadiyah terbebas dari aliran politik praktis karena lepas dari kepemimpinan Dahnil Anzar,” - Wasisto Raharjo Jati, pengamat politik LIPI
Persaingan antar kandidat calon ketua umum Pemuda Muhammadiyah memang panas sejak pembukaan muktamar. Bahkan menjadi sorotan media, baik lokal maupun nasional.
Ahmad Fanani, yang didukung oleh Dahnil Anzar, sempat mengklaim telah mendapat dukungan 15 pimpinan wilayah. Sementara Ahmad Labib (Jawa Tengah), merangkul dua calon ketua lainnya yakni Andi Fajar Asti (Sulawesi Selatan) dan Faisal (Bangka Belitung) membentuk koalisi Ta’awun (tolong menolong antar sesama).
“Kami mendahulukan suasana Ta’awun pada Muktamar ini, menghindar serta menjauhi hal-hal yang berpotensi merusak keutuhan Pemuda Muhammadiyah,” ujar Juru Bicara Andi Fajar Asti, Munawir, kepada awak media, Selasa (27/11).
Koalisi ini pun mengklaim telah mendapat 28 sokongan suara pimpinan wilayah yang terbentang dari Sulawesi, Kalimantan, Jawa, Sumatera, serta Nusa Tenggara.
Sempat beredar kabar bahwa gerbong Koalisi Ta’awun akan merapat ke kubu Fanani, namun kemudian dibantah. Ahmad Labib tetap maju sebagai salah satu kandidat terkuat saat itu. Sementara calon lainnya, Muhammad Sukron menyatakan dukungan terhadap Sunanto.
Sehingga dari enam calon yang resmi terdaftar akhirnya mengerucut ke dalam tiga kekuatan besar: Ahmad Fanani, Ahmad Labib, dan Sunanto. Kesemuanya bersaing memperebutkan 1196 suara pemilih di tengah gonjang-ganjing isu politik uang dan dugaan korupsi anggaran Kemah Pemuda.
Ahmad Labib mengakui ada tensi tinggi dalam proses Muktamar Pemuda Muhammadiyah kali ini.
“Ada dinamika yang menurut saya berlebihan, peristiwa-peristiwa yang tidak seperti yang digambarkan. Nah itu sekarang banyak digoreng,” ucap Labib. Ia khawatir gesekan yang terjadi akan mengganggu hubungan persahabatan dan relasi dengan para sesepuh di Muhammadiyah.
“Ada isu mengadu domba antar orang tua dan lain-lain. (Ketua) PP Muhammadiyah sama mantan ketua PP, ya yang sebenarnya mungkin konteksnya tidak dipahami utuh. Tapi ya itu risiko, harus segera diperbaiki pasca-muktamar ini,” ujarnya kepada kumparan di hari pemilihan ketua umum Pemuda Muhammadiyah, Rabu (28/11).
Perbedaan pendapat di antara Amien Rais dengan Haedar Nasir dan Syafi’i Ma’arif memang kerap mencuat ke permukaan. Pernyataan Amien mulai dari politik harus masuk masjid hingga Muhammadiyah harus berpihak dalam politik kerap ditolak oleh Haedar dan Buya Syafi’i.
Kehadiran Amien di malam sebelum pemilihan ketua umum Pemuda Muhammadiyah kemudian dianggap sebagai intervensi politis. Sumber kumparan menyebut, kemungkinan Amien tengah berupaya memperkuat pengaruh PAN di Muhammadiyah.
Dugaan bahwa Amien kerap menyeret Muhammadiyah ke ranah politik praktis ini ditolak oleh Sekjen PAN Eddy Soeparno. Apa yang dilakukan Amien selama muktamar, menurut Eddy, murni untuk menjaga marwah organisasi.
“Pak Amien ingin memastikan bahwa Muktamar Pemuda Muhammadiyah itu bebas dari intervensi pihak luar. Karena beredar kabar pihak luar sudah menjagokan dan berani mensponsori salah satu calon kandidat,” kata Eddy ketika berbincang dengan redaksi kumparan, Jumat (30/11).
Salah satu alumni Pemuda Muhammadiyah, Abdurahim Ghazali, menilai terlalu berisiko menyeret organisasi ini ke ranah politik.
“Muhammadiyah ini punya mekanisme internal. Bahkan orang-orang PAN di Pemuda Muhammadiyah itu ada yang menyatakan tidak setuju dengan cara Pak Amien seperti itu,” ucapnya kepada kumparan, Jumat (30/11).
Sementara mantan ketua umum Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Raja Juli Antoni, berpendapat bahwa segala bentuk intervensi terhadap Muhammadiyah justru akan melahirkan arus balik.
“Karakter dasar Muhammadiyah itu adalah organisasi yang sangat independen, yang tidak tergantung pada siapapun. Jadi kalau ada kekuatan dari luar yang mengintervensi maka intervensi itu akan ada arus balik. Akan ada sebuah perlawanan,” ujar Toni yang kini menjabat Sekjen PSI.
Hal itu tampaknya terbukti dengan kemenangan Sunanto, yang ditolak oleh Amien, sebagai ketua umum Pemuda Muhammadiyah. Dalam perhitungan suara yang ditutup pada Kamis (29/11) tengah malam, Sunanto unggul dengan 590 suara. Disusul kemudian oleh Ahmad Labib dengan 292 suara. Sementara Ahmad Fanani meraup 266 suara, Faisal 2 suara, Muhammad Sukron 2 suara, dan Andi Fajar 0 suara.
Selain karena pengaruh Amien yang sudah pudar, beberapa pihak beranggapan bahwa kekalahan Fanani adalah kemenangan suara kader Muhammadiyah yang menginginkan organisasinya tetap teguh menjaga independensi organisasi.
Sosok Sunanto dianggap bisa menjaga netralitas Pemuda Muhammadiyah. Posisi pria yang akrab disapa Cak Nanto sebagai Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menuntutnya untuk teguh sebagai pihak non-partisan.
Pria kelahiran Sumenep 38 tahun lalu itu menegaskan bahwa dirinya tidak akan mengikuti jejak Dahnil menjadi tim sukses salah satu pasangan calon. Bagi Sunanto, independensi Muhammadiyah adalah karakter utama yang telah kuat mengakar.
“Sikap politik Muhammadiyah sejak dulu tidak bisa digoda-goda. Jadi yang menggoda mesti akan mental,” pungkas Cak Nanto.
kumparan.com