Sejak empat tahun lalu, lahan kosong di Jalan Juanda mulai dibangun. Rencananya, di atas lahan seluas 4,2 hektare itu, dibangun Pesona Square, terdiri dari mal, apartemen, dan perkantoran. Ditargetkan beroperasi pada 2019, bentuk proyek itu semakin terlihat, menutupi salah satu spot asyik untuk menikmati pemandangan Gunung Salak.
Proyek membangun kawasan serba ada bagi penghuni urban itu merupakan pertama kali di Depok. Di bawah pemerintahan 10 tahun Nur Mahmudi Ismail, pendiri dan mantan presiden Partai Keadilan (kini PKS), Depok termasuk getol membangun mal, dari Depok Town Square, Margo City, D’Mall—yang dipusatkan di kawasan Margonda—hingga Depok Trade Center di wilayah Sawangan.
Pada dekade selanjutnya, tren mulai bergeser pada pembangunan sejumlah apartemen dan hotel, sebut saja Margonda Residence, Melati Residence, Santika Hotel, dan Margo Hotel. Yang cukup anyar adalah pembangunan Cinere Bellevue, kawasan yang memadukan mal dan apartemen.
Proyek-proyek macam itu di bawah dinasti PKS, yang kini dilanjutkan oleh Idris Abdul Shomad, wakil Nur Mahmudi periode kedua lalu.
Selain menyuburkan mal dan apartemen, rezim Nur Mahmudi cs menjadikan Margonda sebagai pusat orang ramai berkumpul, seiring kafe dan rumah makan menjamur di sepanjang jalan utama Depok tersebut.
Yurgen Alifia, yang yang meriset kebijakan Kota Depok bertajuk “Zero Waste City: A Great Challenge for Depok,” dalam satu wawancara dengan redaksi pada Januari 2018 menyebut pola pembangunan Depok "tidak jelas arahnya, antara memang tidak punya atau mungkin punya tapi tak diterapkan."
Betapapun ada kritik bahwa Depok adalah sebuah desa yang gagal jadi kota, Sekretaris Bappeda Depok Syafrizal menyebut arah pengembangan Kota Depok sudah jelas tertuang dalam rencana yang rigid.
Itu diatur dalam RTRW Kota Depok 2012-2032. Ada enam kawasan yang menyangga Depok sebagai sebuah kota: Margonda sebagai pusat pelayanan, sementara Cinere, Cimanggis, Tapos, Sawangan, dan Cipayung menopang Margonda.
Rencana itu menggariskan kawasan Margonda difungsikan untuk kantor pemerintahan, gedung, pusat dagang, dan pendidikan. Adapun Cinere untuk pariwisata dan perumahan; Sawangan untuk agrobisnis dan pertanian; dan Cimanggis untuk kawasan industri. Seluruh kawasan ini harus memiliki ruang hijau.
Namun, seiring pembangunan gedung-gedung bertingkat yang makin subur, ruang publik dan kawasan hijau semakin terdesak. Ini terlihat di kawasan Margonda. Pepohonan cuma sebagai pelekat, bukan penopang kawasan yang sejuk. Sementara ruang hijau dan ruang publik lebih banyak diambil oleh swasta lewat perumahan-perumahan, yang tak bisa dinikmati oleh semua warga Depok.
Dalam rencana pembangunan lima tahunan, pencapaian ruang terbuka hijau Kota Depok baru sekitar 9 persen pada 2014, sementara ruang terbuka hijau untuk privat hanya 6,2 persen. Padahal, sesuai aturannya, pemerintah daerah harus menyediakan 20 persen dan 10 persen ruang-ruang hijau tersebut.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok mengakui hal tersebut. Menurut Syafrizal, lahan terbuka hijau yang minim di kawasan Margonda karena biaya ganti rugi lahannya mahal. Saat ini harga lahan per meter persegi di Margonda antara Rp15 juta dan Rp25 juta. Sementara Pendapatan Asli Daerah Depok hanya Rp1 triliun.
“Karena itu sebagai alternatifnya, kami membuka RTH di fasilitas umum dan fasilitas khusus dibangun pengembang,” ujar Syafrizal kepada redaksi, Kamis lalu.
Kepala Bidang Program Pembangunan Bappeda Depok Reni Siti Nuraeni mengatakan harga lahan yang mahal itu bisa menghabiskan APBD Depok selama setahun.
“Maka, kami lebih memprioritaskan pembangunan niaga ataupun properti yang bisa berkontribusi pada pendapatan daerah,” ujar Reni.
tirto.id | Restu Diantina Putri - Fahri Salam
nasional
Dinasti PKS yang Gagal Mengelola Depok?
Dalam rencana pembangunan lima tahunan, pencapaian ruang terbuka hijau Kota Depok baru sekitar 9 persen pada 2014, sementara ruang terbuka hijau untuk privat hanya 6,2 persen. Padahal, sesuai aturannya, pemerintah daerah harus menyediakan 20 persen dan 10 persen ruang-ruang hijau tersebut.