Demokrat harus menghadapi dua pilihan, mendukung Joko Widodo atau Prabowo Subianto? Baik Jokowi dan Prabowo sama-sama sudah mengumumkan calon wakil presidennya pada Kamis kemarin.
Jokowi sebagai petahana menggandeng Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin. Pasangan ini diusung oleh enam parpol di parlemen, yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan Hanura. Sementara itu, Prabowo memilih menggandeng Wakil Gubernur DKI Jakarta yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Sandiaga Uno. Pasangan ini diusung Partai Gerindra, PKS dan PAN. Kedua pasangan ini rencananya akan mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum pada hari ini, Jumat (10/8/2018), atau di hari terakhir pendaftaran.
Isu Politik Uang
Demokrat beberapa waktu lalu sebenarnya sudah menyatakan akan mengusung Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Bahkan, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono sudah menyatakan bahwa Demokrat menyerahkan sepenuhnya kepada Prabowo sosok calon wakil presiden yang akan ia pilih. Namun, menjelang penutupan pendaftaran, muncul isu bahwa ada politik transaksional yang dilakukan Prabowo dalam memilih cawapresnya.
Isu ini dihembuskan oleh Wasekjen Demokrat Andi Arief pada Rabu (8/8/2018). Andi menuding Sandiaga Uno membayar PKS dan PAN masing-masing Rp 500 Miliar untuk mendapatkan kursi cawapres Prabowo. Menurut Andi, karena hal tersebut Demokrat kemungkinan batal mengusung Prabowo. Baik Gerindra, PAN dan PKS telah membantah pernyataan Andi.
Alot
Pasca berhembusnya isu ini, komunikasi SBY-Prabowo yang semula berjalan cair berubah semakin alot. SBY dijadwalkan akan menerima Prabowo di kediamannya di Mega Kuningan, Jakarta, Rabu malam. Namun, Prabowo tak kunjung datang. Ia baru menyambangi rumah SBY pada Kamis pagi. Mantan Danjen Kopassus itu hanya 40 menit berada di rumah SBY. Setelah itu, ia langsung kembali ke rumahnya di Jalan Kertanegara, tempat para elite Gerindra berkumpul. "Kita musyawarah terus," kata Prabowo singkat kepada awak media.
Tak ada jumpa pers bersama seperti yang terjadi pada dua pertemuan SBY-Prabowo sebelumnya. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani mengungkapkan, dalam pertemuan itu, kedua ketum parpol bicara mengenai power sharing apabila Prabowo memenangi pilpres 2019. Tak lama setelah Prabowo pergi, SBY langsung memanggil para elite Partai Demokrat untuk menggelar rapat. Mereka yang hadir diantaranya adalah Hinca Panjaitan, Andi Mallarangeng, Ee Mangindaan, Syarif Hasan, Andi Arief, Roy Suryo, Nurhayati Ali Assegaf, Ferdinand Hutahaean dan Amir Syamsuddin. "Ini rapat darurat, begitu lah kira-kira," kata Amir Syamsuddin kepada wartawan setibanya di kediaman SBY.
Rapat tersebut dimulai pukul 12.30 WIB dan sempat diskors memasuki sore hari. Namun, para elite Demokrat memilih bungkam soal apa saja opsi yang dibahas di dalam rapat tersebut. Selepas Maghrib, rapat dilanjutkan dan berjalan hingga malam hari. Rapat baru berhenti saat Prabowo kembali datang ke kediaman SBY. Mantan Danjen Kopassus itu tiba pukul 21.20 WIB. Kali ini kedatangan Prabowo lebih singkat, hanya 20 menit. Prabowo keluar dari rumah SBY dan kembali ke Kertanegara pukul 21.40 WIB.
Tidak Sepakat
Menurut Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief, dalam pertemuan itu Prabowo menawarkan Sandiaga Uno sebagai cawapresnya. Namun, SBY menolak tawaran itu. "Sikap Partai Demokrat sampai pukul 22.30 WIB malam ini adalah menolak pencawapresan Sandiaga Uno," kata Andi.
Menurut Andi, Demokrat menolak Sandiaga menjadi cawapres Prabowo karena ia berasal dari Partai Gerindra, sama dengan Prabowo yang akan menjadi capres. Ia menyebut, SBY memberikan opsi ke Prabowo. Salah satunya adalah tetap mengajukan putranya Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres.
"Kembali ke komitmen/janji Prabowo yg meminta AHY cawapres karena elektabilitas tertinggi di semua lembaga survey," kata dia. Kedua, SBY juga menawarkan agar koalisi Demokrat, Gerindra, PAN dan PKS duduk bersama untuk mencari figur alternatif di luar AHY atau pun Sandiaga.
Namun rupanya, Prabowo tidak menerima masukan dari SBY itu. Jelang tengah malam, Gerindra bersama PAN dan PKS mendeklarasikan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sendiri
Dengan deklarasi itu, maka Demokrat menjadi satu-satunya parpol di parlemen yang belum menentukan arah koalisi.
Harapan untuk mengusung poros ketiga pun pupus karena kursi Demokrat tidak cukup mengusung capres dan cawapres sendiri. Ke Jokowi atau Prabowo lagi, Majelis Tinggi Partai Demokrat baru akan menggelar rapat Jumat pagi ini untuk memutuskan.
Kondisi ini mengingatkan pada 2014 lalu, di mana Demokrat juga sempat bimbang apakah akan merapat ke kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla atau Prabowo-Hatta Rajasa. Pada akhirnya, saat itu Demokrat memilih abstain atau tidak mengusung calon di Pilpres.
Namun, jika Demokrat kali ini kembali memilih abstain, maka partai berlambang bintang ini terancam tak bisa mengusung calon di Pilpres 2024 mendatang. Merujuk aturan pasal 235 ayat 5 UU Pemilu, jika parpol atau gabungan parpol yang memenuhi syarat namun tidak mengajukan paslon, akan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.
kompas.com | Ihsanuddin - Sabrina Asril