SALAH satu esensi demokrasi yang diperjuangkan dengan keringat, darah, bahkan nyawa beberapa anak negeri lewat reformasi ialah adanya pembatasan kekuasaan. Namun, tatkala reformasi sudah 20 tahun berjalan, semangat untuk meniadakan kembali pembatasan itu justru menggebu-gebu.
Reformasi ada untuk menghidupkan demokrasi yang dimatikan rezim Orde Baru. Karena itulah, begitu Orde Baru tumbang, perombakan besar-besaran terhadap sistem dan tatanan yang mengekang demokrasi dilakukan. Salah satunya dengan membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode.
Pembatasan itu diatur lewat persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang digariskan dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jelas dan tegas disebutkan bahwa capres dan cawapres harus belum pernah menjabat presiden dan wapres selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Pembatasan baik menyangkut wewenang maupun masa jabatan ialah keniscayaan untuk mencegah terjadinya kekuasaan absolut dan korup. Tanpa pembatasan, mereka yang berkuasa cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Tanpa pembatasan, penguasa yang tadinya demokratis amat mungkin menjadi diktator.
Itulah yang terjadi di rezim Orde Baru. Ironisnya, masih ada pihak yang malah hendak mengembalikan negara ini ke zaman itu. Mereka menyoal ketentuan pembatasan masa jabatan presiden dan wapres di Pasal 169 UU No 7 Tahun 2017. Uji materi pasal itu lantas dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi lantaran dinilai bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945.
Kepada MK, Partai Perindo meminta aturan yang membatasi masa jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode hanya berlaku jika presiden dan wapres menjabat secara berturut-turut. Artinya, jika tidak menjabat secara beruntun, presiden dan wapres yang sudah dua periode berkuasa boleh mencalonkan lagi untuk jabatan yang sama.
Uji materi itu pun terang-terangan dijadikan jalan untuk mengusung wakil presiden saat ini, Jusuf Kalla, sebagai cawapres pada Pilpres 2019. Padahal, Kalla sudah dua kali menjadi wapres. Pada periode 2004-2009, dia mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono.
Kita menghormati hak konstitusional setiap anak bangsa untuk menggugat pembatasan masa jabatan presiden dan wapres. Mereka sah-sah saja meminta MK membatalkan aturan itu. Namun, tidak salah pula jika ada yang bersikap sebaliknya bahwa pembatasan masa jabatan mutlak dipertahankan karena ia instrumen ampuh untuk mencegah munculnya kembali autoritarian.
Sah-sah pula jika kita mengkritisi kesediaan Kalla menjadi pihak terkait dalam gugatan uji materi tersebut. Kesediaan itu ialah wujud dukungan terhadap upaya peniadaan pembatasan masa jabatan presiden dan wapres. Kesediaan itu bisa jadi mewakili isi hati Kalla bahwa dia sejatinya masih berambisi untuk menjadi wapres lagi.
Kenegarawanan Kalla kini patut dipertanyakan. Apalagi, dua bulan lalu dia pernah mengatakan ingin pensiun dari politik dan menghabiskan masa tuanya bersama keluarga. Rupanya, daya pikat kekuasaan terlalu kuat untuk dilawan seorang Kalla.
Atas nama bangsa dan negara, itulah alasan klise yang biasa dilontarkan mereka yang mabuk jabatan. Padahal, dalam kekuasaan, batas antara niat mengabdi kepada rakyat dan nafsu pribadi amatlah tipis, setipis rambut dibelah tujuh.
Kita berharap MK bijak dalam memutus uji materi pasal pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pertimbangan hukum memang penting, tetapi masa depan demokrasi tak kalah penting untuk mereka pertimbangkan. Bangsa ini tak ingin kembali ke era kegelapan, era kekuasaan tanpa batas.
politik
Mempertanyakan Kenegarawanan JK
Kepada MK, Partai Perindo meminta aturan yang membatasi masa jabatan presiden dan wapres maksimal dua periode hanya berlaku jika presiden dan wapres menjabat secara berturut-turut. Artinya, jika tidak menjabat secara beruntun, presiden dan wapres yang sudah dua periode berkuasa boleh mencalonkan lagi untuk jabatan yang sama.