"Kebenaran dalam pandanganku
mengandung satu kesalahan dalam pandangan orang lain dan kebenaran dalam pandangan orang lain mengandung satu kesalahan dalam pandanganku."
Imam Syafi’i
*
Semua orang Islam, tanpa kecuali, mutlak meyakini bahwa sumber pokok hukum Islam adalah al-Qur’an dan hadits Rasul Saw. Titik. Ini dilandaskan pada keyakinan imani bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah, la raiba fih, diturunkan oleh Allah kepada rasulNya, Nabi Muhammad Saw yang ummi, dan kita warisi sampai hari ini. Lalu Rasulullah Saw adalah sosok yang ma’shum, sang sentral bagi pembentukan segala hukum Islam di masa lalu.
Dalam perjalanannya yang panjang begini, muncullah pelbagai realitas di hadapan kehidupan kita. Dari perkara ekonomi, sosial, politik, budaya, dan sebagainya. Tidak semua realitas itu lalu mendapatkan rujukan terangnya dari al-Qur’an dan hadits Rasul Saw. Tapi, kita semua tetap berada di keyakinan imani yang sama, bahwa kedua sumber itu adalah landasan utama bagi hukum Islam yang kita hidupi. Sampai akhir zaman.
Terjadinya realitas-realitas baru dan tidak tersedianya jawaban terang langsung dadi dua sumber utama hukum Islam itulah yang memungkinkan lahirnya tafsir-tafsir, ijtihad-ijtihad, di antara umat Islam. Semua kegiatan tafsir dan takwil itu jelas produk manusia yang tidak ma’shum –bukan Rasulullah Saw—yang mengangkut serta pelbagai hal yang melingkari latar, kondisi, hingga tujuannya masing-masing.
Dari sinilah lahir pelbagai mazhab dan aliran dalam Islam.
Pada hakikatnya, sampai di sini, kita mengerti benar secara rasional bahwa keragaman tafsir, takwil, dan ijtihad, dalam bentuk mazhab ini atau itu, aliran ini atau itu, adalah hal yang alamiah belaka. Lazim. Normal. Dan bahkan seyogianya.
Demi apa?
Semata demi memberikan jawaban atas persoalan-persoalan kekinian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dalam istilah Karen Armstrong di buku Jerussalem, fakta atau peristiwa selalu mendahului penjelasan teologisnya; suatu kejadian dalam masyarakat mendahului respons hukumnya.
Dulu sekali umat Islam tak berkebutuhan dengan bentuk dan praktik kekhalifaha seperti apa sebab bentuk pemerintahan yang berjalan adalah kekhalifahan itu sendiri.
Hari ini, di tengah bentuk nation-state yang menjadi pola politik dunia, muncul diskusi, kajian, hingga debat tentang, misal, bagaimana mewujudkan tugas kekhalifahan muslim?
Jawabannya beragam. Sumber rujukannya juga beragam. Walaupun sama-sama menyandarkan kepada teks-teks al-Qur’an dan hadits yang sama bahkan.
Di negeri ini, rajin benar muncul perdebatan berulang tentang bagaimana hukum bagi seorang muslim yang mengucapkan selamat Natal kepada tetangga atau koleganya yang Kristiani?
Jawabannya beragam, Sumber rujukannya pun beragam. Meskipun juga bersumber dari al-Qur’an dan hadits yang sama.
Dari posisi inilah semestinya semua kita memafhumi dengan lapang hati bahwa kemajemukan tafsir adalah keniscayaan. Keragaman mazhab adalah kepastian hidup. Dan keluasan banyak aliran Islam adalah bahkan sunnatullah.
Saya sampai menyebutnya sunnatullah dikarenakan mustahilnya bagi siapa pun kini untuk menjadikan semua orang Islam berpegang pada satu mazhab, satu aliran, dan satu bentuk hukum saja?
Tentu, yang saya maksud adalah perkara-perkara ghairu mahdhah.
Atas fakta empiris demikian, bagaimana mungkin kita masih saja rajin menggedorkan pandangan kita, paham kita, mazhab kita, dan aliran kita sendiri kepada orang-orang lain yang kita lihat berbeda dengan pandangan dan amaliah kita? Apalagi dibumbui klaim: kalian salah, menyimpang, sesat, dan karenanya kafir.
Dapat dipastikan, semua klaim negasi sejenis itu hanya mungkin tumbuh dari sosok yang gagal berlapang dada pada sunnatullah kemajemukan pandangan, mazhab, dan aliran umat Islam tersebut. Bahkan dapat pula diungkapkan dengan menohok bahwa pemikiran dan gerakan negatif begitu memuat ambisi untuk menyatakan pandangan, mazhab, dan alirannya sejajar dengan marwah alQur’an dan hadits Rasul Saw, padahal jelas-jelas itu semua ‘hanyalah’ tafsir dan takwil yang relatif khas manusia yang mahallul khata’ wan nisyan.
AtAs dasar peta ini, seyogianya kita semua semakin bisa berdewasa dan berbijaksana di hadapan realitas kemajemukan umat ini. Kita semestinya mengedepankan pernghormatan pada pandangan, mazhab, dan aliran yang dipilih dan dianut oleh saudara seiman kita, sebagaimana kita sendiri senantiasa ingin mendapatkan penghormatan yang sama.
Amaliah-amaliah yang berbeda dengan diri kita seyogianya selalu bisa kita letakkan sebagai ekspresi imannya kepada Allah, pemahamannya pada teks-teks al-Qur’an dan hadits Rasul Saw, sebagaimana posisi hakiki kita sendiri.
Suatu pandangan, mazhab, dan aliran rasanya baru pantas untuk dipersoalkan tatkala terjatuh pada ekspresi-ekspresi yang justru memicu masalah sosial. Suatu pemahaman hukum, misal, baru patut untuk dipersoalkan tatkala memberikan dampak negatif bagi bangunan harmoni sosial kita.
Ini berarti sejatinya yang menjadi soal bukanlah ihwal bentuk tafsirnya, pemahamannya, alirannya, melainkan dampak-dampak negatif yang ditimbulkannya. Sepanjang suatu tafsir tidak memicu pertikaian dan permusuhan di antara kita, patutlah ia untuk kita hormati sebagai pilihan pandangan dan pemahamannya pada Islam itu sendiri.
Sayangnya, kenyataan yang makin ruah di depan mata kita kini ialah trend berselisih dan bermusuhan di antara umat Islam yang berlainan pandangan, paham, mazhab, dan aliran. Kita kehilangan marwah intelektualitas kita untuk sekadar memahami bahwa keragaman pandangan dan paham adalah hal wajar belaka. Yang kita sorongkan selalu hanyalah fanatisme pongah yang melampaui batas pada paham diri sendiri sembari menyalahkan dan menyesatkan orang lain yang tak sama. Kebenaran kita klaim sebagai milik mutlak kita, pihak lainnya otomatis salah.
Kita semua lantas menjadi sibuk betul untuk berdebat kusir sedemikian menguras energinya, bahkan ada yang sampai terjatuh pada ungkapan-ungkapan su’ul adab –yang jelaslah menimpukkan dosa-dosa lain pada kita.
Nabi Saw mengajarkan akhlak karimah kepada kita semua, kita paham. Maka bagaimana mungkin kita sanggup memeragakan su’ul akhlak sembari menyatakan diri sebagai peneladan Rasulullah Saw?
Tak masuk akal, bukan?
Mari kita kedepankan akhlak karimah, kelapangan dada, dalam pelbagai perbedaan pandangan dan amaliah keislaman kita.
Masjid An-Nur, 3 Juni 2018