Itu sebabnya, lewat pilkada serentak rakyat butuh atmosfer politik segar yang mendaur segala aroma rivalitas, kebencian, kejenuhan, dan skeptisisme menjadi sebuah produk politik kohesif yang berbasiskan keadaban: keindahan sosial, nasionalisme, dan religiositas.
Situasi politik yang memayungi pilkada harus menjadi arena penggunaan kekuasaan sosial untuk membangun kebaikan dan keadaban, dengan kebersamaan, kerukunan, dan nilai suci keagamaan menjadi harga mati.
Kita bersyukur aparat kepolisian mampu melumpuhkan gerakan pengacau (teroris di Kota Depok, Jabar) yang ingin membenamkan momen politik ke dalam situasi horor.
Selain itu, tertangkapnya beberapa kepala daerah terkait dengan rasywah menjelang 27 Juni ialah bukti bahwa horor bagi demokrasi yang substansial terus disuntikkan ke tubuh Republik ini oleh para politikus pecundang yang berpikir oportunis dan predatif.
Benar kata Hans Morgenthau, animus dominandim (manusia selalu ‘haus’ akan kekuasaan) karena peringai politik mereka yang begitu mendewakan elektoral dan kuasa. Karena itu, selalu ada pihak-pihak yang mengimpikan situasi politik lokal dan nasional menjadi kisruh, yang menguras energi politik pemerintah untuk bekerja dalam kepanikan, sehingga konsolidasi agenda demokrasi berceceran. Mereka hendak meracuni pikiran rakyat dengan propaganda murahan yang melukai demokrasi.
Gawe krusial
Pilkada kali ini adalah juga gawe politik krusial menyongsong Pemilu 2019 dengan banyak agenda nasional diperbincangkan dalam pelbagai kamar kepentingan yang bisa bertumbukan satu sama lain jika tak disertai dengan kepemilikan saraf-saraf politik nasionalisme dan kearifan.
Itu sebabnya Pilkada 2018 bukan saja berbicara soal kaveling elektoral pada wilayah-wilayah politik determinan di Jawa, melainkan juga terkait dengan kontestasi melahirkan kedewasaan para politikus yang berkepentingan dalam mengelola isu strategis kebangsaan secara bersama-sama untuk mewujudkan RI yang mengedepankan jati diri sebagai nation state yang menghargai sejarah, perbedaan, dan nilai kemanusiaan.
Karena itu, posisi rakyat sebagai pengawal demokrasi sangat urgen di sini. Rakyat memiliki kedigdayaan politik untuk menjaga kondisi politik dari jangkauan kekuasaan manipulatif dan korup. Setidaknya, dengan rasionalitas dan ekspektasi moral yang dipunyainya.
Menyitir teori Ortega Y Gasset yang dikutip Sherman (dalam The Social Bases of Politics, 1987:146) tentang ‘teori massa’ bahwa kebesaran suatu bangsa sangat tergantung rakyatnya. Dalam konteks pilkada, rakyat punya posisi tawar kuat untuk menghadirkan partisipasi konstruktif, antara lain lewat prinsip politik inklusif yang antikemapanan, yang tidak mendasarkan pilihan dan sikap politik parokial, tetapi lebih berdasarkan nilai-nilai impetus (pengorbanan). Hal itu untuk mengeliminasi pemimpin-pemimpin eksklusif, imitatif-kapitalistik dalam proses politik diperlukan meminjam Benn Anderson semacam bayangan imajinasi kepublikan, untuk mengikis ego dan pragmatisme, meskipun sakit rasanya, demi tercapainya masa depan bangsa yang lebih baik dan disegani oleh dunia.
Sudah menjadi semacam hukum sosial perubahan, rakyat harus berani hidup dalam sebuah proses terjal dan curam untuk menyaksikan negara yang bersih korupsi, atau terbebas dari sektarianisme sempit, dengan menginvestasikan kesungguhan moral serta nalar kritis untuk berpikir melampaui zamannya dan kepentingan diri sendiri.
Misalnya, membudayakan hidup jujur, berpikir dan menilai secara objektif dan terbuka terhadap yang berbeda, bertungkus lumus dalam berpikir jangka panjang, dan bekerja keras untuk kepentingan kolektif.
Ibarat bayi dalam kandungan, rakyat sedang menunggu hari-H persalinan pemimpin-pemimpin besar dari rahimnya. Kemenangan dalam pilkada harus dijamin sebagai kemenangan rakyat seutuhnya yang tidak boleh dikontaminasi spirit keserakahan kekuasaan membabi buta. Bagaimamapun, sportivitas dan kesediaan mengorbankan nafsu kekuasaan adalah nilai tertinggi dalam politik kontestasi.
Harus diselamatkan
Ada empat macam elite yang berhasil bermetamorfosis dalam konstruksi demokrasi lokal. Pertama, elite politik yang memerintah dengan kelicikan, yang menyembunyikan watak aslinya demi popularitas. Kedua, elite yang memerintah secara otoriter, tidak kenal dialog dan kompromi. Ketiga, elite konservatif, yang mendasarkan kerjanya sejauh menguntungkan kepentingan diri/golongan. Keempat, elite liberal yang bekerja untuk kepentingan umum dan memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk mengkritik (Chalik, 2017).
Liberal di sini tidak menunjuk pada konsep liberalisme yang identik dengan pengaruh asing atau asingisasi. Sejatinya dalam konteks politik barat, liberal merujuk pada dikotomi ‘liber’ dan ‘servus’. ‘Liber’ adalah warga negara yang merdeka, bebas dari dominasi, sedangkan ‘servus’ adalah budak.
Maka, pilkada serentak 2018 mesti menjadi momentum mendaulat dan melahirkan elite-elite liberal yang mampu melenyapkan horor demokrasi, dan mewakafkan seluruh kemampuannya untuk melahirkan sistem kepemimpinan yang menginisiasi bangunan demokrasi yang antikorup, egalitarian, dan menjunjung penuh nilai-nilai kemanusiaan dan beradab.
Politik lokal maupun nasional wajib diselamatkan dari kedangkalan rasionalitas jika ingin menaikkan kualitas demokrasi. Para elite yang bertarung di pilkada harus memiliki kesediaan tanpa pamrih untuk menanggalkan kelaparan dan kerakusan kekuasaannya dengan tidak membasiskan laku politiknya hanya pada soal keberuntungan dan kecerdikan, tetapi juga mau berpikir yang benar dan adil bagi kepentingan rakyat dan demokrasi.
Para elite harus membudayakan rasionalitas dalam bersikap karena meminjam John Locke, semua manusia termasuk elite politik memiliki kemampuan yang sama untuk mengetahui hukum moral dan memiliki kemampun untuk melakukan kompetisi kebajikan (Suhelmi, 2001). Semoga mimpi besar ini bisa hadir dan menjadi kenyataan manis dari penyelenggaraa pesta politik Pilkada 2018.
mediaindonesia.com