Indonesia merupakan negara yang demokratis dengan meletakkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat Indonesia (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Selain itu, Indonesia juga merupakan negara hukum yang setiap penyelenggaraan kenegaraan dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan agar penyelenggaraan negara tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh pihak penguasa.
Penyelenggaraan demokrasi di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat penting dilaksanakan. Karena demokrasi merupakan suatu dogma yang kemudian menjadi sistem dalam penyelenggaraan kenegaraan.
Demokrasi, pada umumnya, memiliki berbagai macam istilah, yakni Demokrasi Konstitusional, Demokrasi Perlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, Demokrasi Rakyat, Demokrasi Soviet, Demokrasi Nasional, dan sebagainya. Secara khusus, Indonesia hanya pernah menerapkan beberapa konsep demokrasi saja, yakni Demokrasi Konstitusional (1945-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila (1965-1998), Demokrasi Reformasi (1998-Sekarang).
Namun, semua konsep tersebut menggunakan istilah demokrasi yang secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demos yang berarti rakyat dan Kratos/Kratein berarti kekuasaaan/berkuasa. Atau secara istilah menegaskan bahwa rakyat berkuasa atau government by the people.[1]
Politik dan Demokrasi
Prof. Miriam Budiardjo berpendapat bahwa politik adalah suatu usaha untuk menggapai kehidupan yang baik atau kebahagiaan. Di dalam politik dikenal dengan adanya suatu ideologi yang merupakan dasar untuk menyelenggarakan politisasi.
Ideologi politik pada dasarnya merupakan himpunan nilai-nilai, ide-ide atau norma-norma, kepercayaan atau bahkan keyakinan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas dasar mana mereka menentukan sikap terhadap pekerjaan dan problematika politik yang dihadapinya dan menentukan perilaku politik.[2] Tentunya, dalam berpolitik, haruslah didasarkan pada kepentingan bersama dan kemaslahatan bersama.
Oleh karena itu, dalam prinsip negara demokrasi, setiap penyelenggaraan kenegaraan harus diselenggarakan secara bebas oleh rakyat, termasuk juga dalam menentukan pemimpin atau penguasanya. Bebas yang dimaksudkan bukanlah bebas dalam arti yang pragmatis, yakni sebebas-bebasnya tanpa adanya ketentuan yang mengaturnya, melainkan bebas yang dimaksudkan adalah bebas yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut ditujukan agar terciptanya suatu ketertiban dalam tatanan masyarakat.
Namun, dewasa ini, terdapat segelintir kelompok masyarakat yang salah mempersepsikan perihal politik. Sehingga, secara tidak langsung, mereka mengabaikan hak politiknya, yakni hak untuk memilih dan/atau hak untuk dipilih.
Bagi mereka, politik merupakan suatu hegemoni atas suatu wilayah berdasarkan kekuasaan. Hal tersebut juga tidak dapat dipersalahkan karena mengingat banyaknya praktik politik yang kurang baik yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Akan tetapi, pada dasarnya, suatu hegemoni tidak selalu mempunyai makna kurang baik. Mengutip pendapat Gramsci tentang hegemoni adalah bukanlah merupakan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.[3]
Merujuk pada pandangan Gramsci mengenai hegemoni, maka terdapat dua hal yang berbeda, yakni dominasi dengan menggunakan kekuasaan serta persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Oleh karena kedua hal tersebut memiliki makna yang berbeda, yakni negatif-positif, maka kita perlu merujuk pada esensi pendapat Gramsci: merupakan hubungan persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis.
Berdasarkan esensi daripada pendapat Gramsci mengenai hegemoni, maka dapat disimpulkan bahwa sudah selayaknya warga negara Indonesia mentukan sikap terhadap Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan diselenggarakan secara serentak pada yahun 2019.
Berkenaan dengan itu, esensi dilaksanakannya Pemilu merupakan upaya untuk menyelenggarakan demokratisasi untuk menentukan arah pembangunan negara dan masyarakat serta menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai warga negara. Secara eksplisit, hal tersebut tentunya telah ditegaskan dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.[4]
Masyarakat dan Sistem Politik
Masyarakat adalah keseluruhan antara hubungan-hubungan yang berlangsung antarsesama manusia. Robert M. Mclver menegaskan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem hubungan-hubungan yang ditata (society means a system of ordered relation).
Masyarakat, secara hakikat, berarti kumpulan setiap manusia yang melangsungkan kehidupan secara interaktif antarsesama manusia tanpa mengenal adanya perbedaan kelas atau golongan atau bahkan strata sosial.
Biasanya anggota-anggota masyarakat menghuni suatu wilayah geografis yang di dalamnya memiliki persamaan. Persamaan tersebut dapat dipandang dari aspek kebudayaan, lembaga, golongan, agama, dan sebagainya.[5] Dari persamaan itulah yang nantinya akan menimbulkan suatu interaksi antarmereka, sehingga dapat membentuk kelompok masyarakat yang damai.
Berkaitan dengan wilayah yang dimaksud, yakni negara. Negara merupakan suatu organisasi yang menghimpun setiap manusia serta memiliki tujuan.
Robert M. Mclver berpendapat bahwa negara asosiasi yang menyelenggarakan suatu penertiban di dalam suatu tatanan masyarakat yang terhimpun dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan yang memaksa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa negara pada dasarnya merupakan suatu daerah teritorial yang mengatur kehidupan masyarakat melalui suatu penguasaan dari seseorang yang menjalankan sistem hukum demi mewujudkan kemaslahatan kepada anggota masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut (negara).
Setiap negara memiliki organisasi yang berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk yang bermukim di wilayah teritorial tersebut. Keputusan-keputusan yang dimaksudkan adalah undang-undang dan peraturan-peraturan lain.
Dalam hal ini, yang dimaksud organisasi yang berwenang tersebut adalah pemerintah. Pemerintah melaksanakan hal tersebut dikarenakan tuntutan dari kekuasaan negara.[6]
Untuk menjadi pemegang kekuasaan dalam negara (pemerintah), haruslah melalui suatu dinamika sosial. Seperti yang telah dinyatakan di atas bahwa sesungguhnya politik merupakan suatu sistem yang hendak digunakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuannya, yakni kebahagiaan melalui kekuasaan.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya konsep politik dalam penerepan pada situasi yang konkret, seperti negara, mencoba mendasarkan studi yang berkaitan dengan gejala-gejala politik dalam konteks tingkah laku di masyarakat. Tingkah laku politik dianggap sebagai sebagian dari keseluruhan tingkah laku sosial.
Menurut pemikiran ini, masyarakat pada dasarnya merupakan suatu sistem sosial yang pada hakikatnya terdiri dari berbagai macam proses. Di antara berbagai macam proses tersebut, maka terdapat pula suatu proses yang berbeda antarmasyarakat yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan proses tersebutlah yang dinamakan sebagai sistem politik.
Dalam konsep sistem politik, dikenal berbagai macam istilah, yakni proses, struktur, dan fungsi. Proses pada dasarnya merupakan pola-pola (sosial dan politik) yang dibuat oleh manusia dalam mengatur hubungan antarsatu dengan yang lainnya.
Dalam suatu negara, lembaga-lembaga seperti parlemen, partai, birokrasi, sekalipun sudah mempunyai kehidupan sendiri, sebenarnya tidak lain dari proses-proses yang pola-pola ulangannya sudah mantap.
Sistem politik menjalankan fungsi-fungsi tertentu untuk masyarakat. Fungsi-fungsi yang dijalankannya, yakni membuat keputusan-keputusan kebijaksanaan yang mengenai alokasi dari nilai-nilai yang bersifat material maupun non-material.
Keputusan-keputusan kebijaksanaan tersebut diarahkan untuk tercapainya tujuan-tujuan masyarakat. Oleh karena itu, tujuan-tujuan masyarakat dirumuskan dan selanjutnya dilaksanakan oleh keputusan-keputusan yang mengikat serta berasal dari pihak yang berwenang (pemerintah atau pemegang kekuasaan).[7]
Oleh karena itu, untuk menentukan tujuan bersama, haruslah didasari dengan partisipasi masyarakat. Karena pada dasarnya calon pemerintah atau penguasa dapat menjalankan fungsi-fungsinya apabila terdapat peranan masyarakat.
Namun, sudah selayaknya pula pemerintah yang terpilih untuk dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, tujuan negara dan masyarakat, serta tidak memihak pada kelompok mana pun. Hal ini bertujuan agar tidak menimbulkan kekecewaan yang mendasar di kalangan masyarakat.
Maka dari itu, untuk menentukan arah Indonesia ke depannya, dibutuhkan partisipasi masyarakat Indonesia terhadap kesuksesan pesta demokrasi tahun 2019, yakni Pemilihan Umum yang dilakukan secara serentak.
Catatan Kaki
[1] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (PT Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 2015), hlm. 105
[2] Ibid, hlm, 25
[3] Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, (Aditya Media Publishing, Yogyakarta, 2010), hlm. 39-40
[4] Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
[5] Prof. Miriam Budiardjo, Op. cit., hlm 46
[6] Ibid, hlm. 53
[7] Ibid, hlm. 56-58
nalarpolitik.com | Tza Rizal