Peranan santri atau kaum sarungan dalam kemerdekaan bangsa Indonesia sangatlah besar. Karena bangsa ini mayoritas beragama islam, sangat wajar jika umat islam, khususnya para santri melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda yang telah menguras kekayaan bumi Nusantara.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro yang notebene berasal dari kaum santri berani memandu perang melawan imperialis Balanda, yang sudah menjajah bangsa ini selama ratusan tahun. Pasukan Pangeran Diponegoro ini adalah para santri Kyai Maja. Kyai Maja tidak hanya menggerakkan dan melatih santri di pesantrennya, tapi juga di berbagai pesantren lainnya untuk melawan kolonialisme Belanda.
Sejarah perang Pangeran Diponegoro, sepatutnya menjadi fakta sejarah yang tidak bisa terbantahkan, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari perjuangan para santri. Kalaupun ada yang membantah, waktu itu tidak hanya santri terlibat dalam peperangan, pertanyaannya siapa yang serius menghadapi Belanda? Abad 19 sebut saja kelompok kristen. Tokoh Kristen pasti akan dekat dengan Belanda karena Belanda yang membawa kristen, misi kristenisasi dan Zending dibiayai pemerintah kolonial Belanda. Satu-satunya yang rasional melawan Belanda adalah kelompok santri.
Disamping itu, peran santri pada masa pra-kemerdekaan dalam melawan kolonial Belanda bisa kita pahami semenjak di cetuskannya fatwa resolusi jihad oleh pendiri NU KH. Hasyim Asya’ari pada tanggal 22 oktober 1945 di Surabaya yang bertujuan untuk mencegah kembalinya Tentara Kolonial Belanda ke tanah pertiwi ini sabagai penjajah.
Atas dasar itulah, mbah Hasyim sapaan akrabnya dari kalangan santri menyerukan jihad dengan mengatakan bahwa “membela tanah air dari penjajah hukumnya fardlu ain atau wajib bagi setiap individu” atas fatwa itulah, para kalangan Santri mengobarkan semangat dengan niat jihad cinta tanah untuk melawan penjajah yang kembali lagi ke tanah pertiwi ini.
Kemerdekaan Bangsa ini, memang tidak bisa lepas dari peranan penting para ulama dan santri, Tercatat banyak santri dan ulama telah mengorbankan tenaga dan pikiran untuk mengusir penjajah dari bumi nusantara.
Di zaman sekarang, dimana perkembangan Teknologi sudah pesat, seorang santri harus bisa melakukan perubahan perubahan, kemampuan beradaptasi dan ikut serta mengawal ke-indonesia-an, dan terlibat memerangi gerakan-gerakan trans nasional yang mengancam ideologi negara, tidak berhenti disitu, santri dituntut untuk memiliki intelektual yang luas, yang bisa menggabungkan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Hal itu merupakan tantangan baru bagi kaum santri yang dulunya santri mempunyai tantangan melawan kolonial Belanda, tetapi sekarang tantangan santri sudah semakin kompleks, santri harus bisa mempersiapkan melawam penjajah yang sudah berbeda bentuk dari zaman dulu.
Era sekarang tantangan santri sangat berbeda, dengan kemajuan zaman dan perkembangan globalisasi. Menjadi seorang santri di samping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, tata krama, tawadhu’ kepada masayikh, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya. Yaitu dengan mengkolaborasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Karenanya, jika santri hanya mengandalkan ilmu din (ilmu agama), akan sulit untuk bersaing di era globalisasi.
Era globalisasi lebih berkiblat kepada kehidupan barat, sangat bertolak belakang dengan kehidupan di kalangan pesantren yang fokus garapannya di bidang spiritual, itulah menjadi tugas dan tantangan santri dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara.Tantangan dalam bernegara mulai ramai di dengungkan mengenai paham-paham yang bercorak islam-radikalisme dengan membawa visi untuk mengubah dasar negara menjadi ideologi yang murni dari Islam. Dasar negara yang sudah menjadi kesepakatan semua warga negara (pancasila) di anggapnya tidak relevan lagi dibuat sebagai landasan bernegara. apalagi mereka (paham radikalisme) menganggap sudah waktunya negara yang mayoritas menganut agama islam, maka seyogyanya harus menggunakan islam sebagai landasan bernegara.
Atas realitas itulah, penulis beranggapan bahwa tantangan santri di zaman sekarang bukan lagi penjajah berbentuk fisik melainkan panjajah yang menjadi siluman dalam bentuk paham-paham yang memecah belah kerukunan berbangsa dan bernegara.
Apalagi jika kita memahami pendapat dari seorang politikus NU tulen yakni Muhaimin Iskandar mengutarakan bahwa “sudah saatnya Santri memimpin kemajuan dalam bernegara”. Dalam merefleksikan hari santri yang sudah di peringati setiap tahun pada tanggal 22 Oktober, sudahkah seseorang yang menganggap dirinya Santri mengamalkan tantangan yang sudah berada didalam kehidupan sehari-hari? Itulah yang menjadi PR kaum santri dalam menjalani
M Rifqi Sanjaya
nasional, opini
Tantangan Santri Di Jaman Now: Sebuah Refleksi
Menjadi seorang santri di samping menekuni kajian keagamaan yang sangat kental, seperti kajian kitab kuning, moral, tata krama, tawadhu’ kepada masayikh, santri harus mengimbanginya dengan kemampuan intelektualnya untuk bersaing di jaman yang penuh dengan perubahan yang pesat.