Rahmat El-Basqy
66 Tahun yang lalu, 4 Agustus adalah hari lahir KH Abdurrahman Wahid. Bagi kalangan anggota Nahdlatul Ulama khususnya dan aktifis kemanusiaan dunia, tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari besar bagi perjuangan nilai-nilai kemanusiaan dan pluralisme.
Meski ada 2 tanggal lahirnya hari lahir, sebagian besar memilih tanggal 4 Agustus sebagai hari lahir. Menurut Greg Barton (2003), Sebenarnya tanggal 4 Sya’ban 1940 adalah tanggal 4 September. Meski demikian, sebagain besar orang tidak ingin berpolemik soal kapan Gus Dur dilahirkan. Mereka lebih senang mendapatkan cerita-cerita tentang Gus Dur dan cara mengisi kehidupannya.
Sebagai anak pesantren, lahir dan besar di pesantren sekaligus cucu pendiri NU, Gus Dur memiliki kelebihan yang berbeda dengan yang lain. Meski demikian, sebagaimana tradisi pesantren dan Nahdlatul Ulama, setiap ulama yang telah wafat, orang-orang biasa biasa merayakan hari wafatnya dengan haul dibandingkan merayakan hari lahirnya.
Greg Barton (2003: 25) dalam buku Biografi Abdurrahman Wahid menggambarkan, “Namun dia tidak selalu membaca hal-hal yang bersifat agama atau melakukan kegiatan budayayang berkaitan dengan agama. Ketika berdiam di Yogyakarta lah ia mulai menyukai film secara serius. Hampir sebagian besar dari satu tahun dihabiskan dengan menonton film”.
Gambaran tersebut membuat kita yang paham menjadi sangat lumrah kala Gus Dur memiliki referensi-referensi yang kaya tentang semua jenis keilmuan. Pengetahuannya yang luas karena buku dan pengalamannya yang banyak tergambar dari wacana-wacana pemikirannya yang dinamis dan kontemporer. Dia mampu mengekspor banyak pemikiran tentang Islam dan kenegaraan pada kancah dunia tanpa sedikitpun meninggalkan akar budaya lokal; Hidup di Pesantren dan aktif di Nahdlatul Ulama yang disebut kaum tradisional, mencintai negaranya melebihi apapun yang dimilikinya.
Pada prinsipnya, Gus Dur pada masa hidupnya telah selesai semua urusan lahir maupun bathin. Meski lahir dari keluarga besar dan tokoh nasional, Gus Dur memilih berjuang demi nilai-nilai kemanusiaan dan pluralitas yang diyakininya. Nilai-nilai keagamaan, kenegaraaan, Humanisme dan lain sebagainya. Beberapa orang memprotes pemikirannya tapi sebagian besar mengiyakan semua yang dilakukan Gus Dur, bahkan tak sedikit yang merapat dan berbaris dibelakang Gus Dur tanpa memandang latar belakang agama, profesi atau kebudayaannya.
Gus Dur dengan segala dialektikanya telah masuk ke dalam semua lini kehidupan masyarakat Indonesia. Apapun wacana pemikiran orang-orang baik dalam negeri bahkan luar negeri sudah menjadi pemikiran Gus Dur. Kumpulan tulisan beliau misal Tuhan Tidak Perlu di Bela, Islam Kosmopolitan,Pribumisasi Islam, Mengurai Hubungan Agama dan Negara (1999), Pergulatan Agama, Negara dan Kebudayaan (2001) dan lain-lainnya adalah gambaran bagaiman beliau memiliki wacana yang sangat dinamis dan luar biasa. Dari sekian banyak tulisan beliau, tak pernah lepas dari tentang nilai-nilai kemanusiaan, nasionalisme, kebudayaan, HAM dan isu-isu humanisme.
Hingga sekarang, Islam Nusantara menjadi gagasan menarik bahkan kontroversial bagi kritikus pemikiran keagamaan maupun pemerhati keagamaan di Indonesia. Istilah yang mulai ramai saat digelarnya Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 lalu ini sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari pemikiran-pemikiran Gus Dur. Jika kemudian beberapa orang mengganggap Islam Nusantara sebagai paham keagamaan baru sesungguhnya tidak benar dan justru menodai semangat lahirnya Islam Nusantara. Islam Nusantara lahir untuk melestarikan kebudayaan lokal yang dalam koridor nilai-nilai Islam.
Menteri Lukman Hakim Syaifudin dalam sambutan buku Zainul Milal (2016: 3) menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.
Pendapat tersebut tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kebudayaan yang perjuangkan Gus Dur. Gus Dur sesungguhnya spirit Islam Nusantara karena beliau mampu menjelaskan secara detail dan logis mengapa Islam di Indonesia memiliki karakter yang berbeda-berbeda tapi bisa terjalin harmonisasi. Dari sekian banyak budaya yang terpengaruh ajaran-ajaran Islam, tak satupun yang bertentangan dengan Islam.
Syaiful Arif (2013: 96) menjelaskan pendapat Gus Dur terkait persebaran Islam di Nusantara. “Pertama Pola Aceh yang menghadirkan Islam secara kultural da dengan kultural Islam yang kuat, didirikanlah kerajaan berbasis syariat. Kedua pola Minangkabau, yang mana sebelum datangnya Islam sudah ada hukum adat, hingga akhirnya terjadi perang Padri. Ketika pola Goa (Baca Sulawesi Selatan), yang mana meskipun sebelum Islam telah ada hukum adat, Islam bisa seiring sejalan dengan adat. Dan pola keempat, pola jawa. Di masyarakat Jawa telah ada aliran Kejawen sebelum kehadiran Islam. Maka kerajaan Mataram Islam mengakomodasi Kejawen dengan memberikan ruan bebas secara kultural.”
Pendapat tersebut sebagai contoh dari sekian banyak pemikiran-pemikiran Gus Dur yang menjadi referensi utama Islam Nusantara dalam isu-isu lokalitas dan kemanusiaan. Pemikiran-pemikiran Gus Dur tersebut akan selalu dilestarikan penggerak Islam Nusantara tanpa melepaskan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan atau memisahkan keduanya. Artinya, Islam Nusantara adalah cara berpikir tanpa harus membedakan antara Islam dan kebangsaan Indonesia apalagi mempertentangkan keduanya.*
www.gusdurfiles.com
opini, tokoh
Gus Dur dan Peneguhan Islam Nusantara
Islam Nusantara menjadi gagasan menarik bahkan kontroversial bagi kritikus pemikiran keagamaan maupun pemerhati keagamaan di Indonesia. Istilah yang mulai ramai saat digelarnya Muktamar ke-33 NU di Jombang tahun 2015 lalu ini sesungguhnya tak bisa dipisahkan dari pemikiran-pemikiran Gus Dur. Jika kemudian beberapa orang mengganggap Islam Nusantara sebagai paham keagamaan baru sesungguhnya tidak benar dan justru menodai semangat lahirnya Islam Nusantara.