,

Islam Nusantara Dalam Kehidupan Rasulullah

Penjelasan oleh Umar A.H memahami istilah Islam Nusantara secara mudah melalui ilmu nahwu sebagai berikut : memahami kata dari term islam nusantara yang mana terdiri dari dua kata yang digabung menjadi satu, atau dalam kamus santri dinamakan idhafah yaitu penyandaran suatu isim kepada isim lain sehingga menimbulkan makna yang spesifik, kata yang pertama disebut Mudhaf (yang disandarkan) sedang yang kedua Mudhaf ilaih (yang disandari).

Islam Nusantara Dalam Kehidupan Rasulullah
Islam Nusantara yang jadi tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang, Jawa Timur, pada 1 - 5 Agustus mendatang. Sebagian pakar setuju dengan konsep tersebut, namun tidak sedikit yang meragukan (baca : sinis) dengan gagasan tersebut karena dianggap bagian dari rangkaian proses sekularisasi, liberisasi pemikiran Islam.

Terlepas dari semua perbedaan yang telah dimunculkan, sebenarnya  memahami Islam Nusantara melalui kajian kitab kuning sangat mudah, berikut saya tampilkan Nuqilan dari kajian beberapa fan ilmu yang disampaikan beberapa pakar.

Islam Nusantara Bukan Agama Baru dan Bukan Sebuah Aliran
“Islam Nusantara bukan agama baru, bukan juga aliran baru. Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan sejarah Islam masuk ke Indonesia tidak melalui peperangan, tapi kompromi terhadap budaya,” kata Kiai Said dalam konferensi pers persiapan akhir pelaksanaan Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Gedung PBNU, Jumat (3/7/2015).

Dikatakan oleh Kiai Said, meskipun bersikap kompromi terhadap budaya di Nusantara, Islam Nusantara tetap tidak membenarkan adanya sebuah tradisi yang bertentangan dengan syariat Islam.

“Misalkan ada tradisi yang melegalkan seks bebas, itu tidak dibenarkan, tidak diterima dan dicarikan komprominya. Yang positif, masyarakat Indonesia kuno mengenal selametan dengan sesaji, ketika Islam masuk diisi dengan pengajian, membaca ayat-ayat Alquran, dibarengi sedekah, itulah tradisi Islam Nusantara,” jelas Kiai Said.

Melalui Islam Nusantara yang akan dijadikan tema besar dalam Muktamar ke-33 mendatang, Kiai Said menekankannya sebagai sumbangsih NU kepada Indonesia dan dunia yang tidak radikal. “Tradisi Islam Nusantara tidak mungkin menjadikan orang radikal. Tidak mengajarkan membenci, membakar, atau bahkan membunuh,” tegasnya.

Islam Nusantara Dalam Bingkai Ilmu Nahwu
Penjelasan oleh Umar A.H memahami istilah Islam Nusantara secara mudah melalui ilmu nahwu sebagai berikut : memahami kata dari term islam nusantara yang mana terdiri dari dua kata yang digabung menjadi satu, atau dalam kamus santri dinamakan idhafah yaitu penyandaran suatu isim kepada isim lain sehingga menimbulkan makna yang spesifik, kata yang pertama disebut Mudhaf (yang disandarkan) sedang yang kedua Mudhaf ilaih (yang disandari).

Imam ibnu malik, pakar nahwu dari Andalusia spanyol menyatakan :

نُوناً تَلِي الإعْرَابَ أو تَنْوِينَا # ممّا تُضِيفُ احْذِفْ كَطُورِ سِينَا
وَالثَّانِيَ اجْرُرْ وانو من أَوْ فِي إذا # لَمْ يَصْلُحِ الّا ذَاكَ وَالّلامَ خُذَا
لِمَا سِوَى ذَيْنِكَ واخصص أولا # أو أعطه التعريف بالذي تلا

Terhadap Nun yang mengiringi tanda i’rob atau Tanwin dari pada kalimah yg dijadikan Mudhaf, maka buanglah! demikian seperti contoh: thuuri siinaa’

Jar-kanlah! lafazh yg kedua (Mudhof Ilaih). Dan mengiralah! makna MIN atau FI bilamana tidak pantas kecuali dengan mengira demikian. Dan mengiralah! makna LAM

pada selain keduanya (selain mengira makna Min atau Fi). Hukumi Takhshish bagi lafazh yg pertama (Mudhaf) atau berilah ia hukum Ta’rif sebab lafazh yg mengiringinya (Mudhaf Ilaih

Dari teori di atas dapat dipahami bahwa istilah islam nusantara merupakan gabungan kata islam yang berarti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta kata nusantara yang dalam KBBI merupakan nama bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, penggabungan ini bertujuan untuk mencapai makna yang spesifik. 

Namun penggabungan kata ini masih menyisakan berbagai pemahaman, karena sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Malik diatas, bahwa penggabungan (idhafah) harus menyimpan Huruf Jar (harf al-hafd) yg ditempatkan antara Mudhaf dan Mudhaf Ilaih untuk memperjelas hubungan pertalian makna antara Mudhaf dan Mudhaf Ilaih-nya. Huruf-huruf simpanan tersebut berupa MIN, FI dan LAM.

Peng-Idhafah-an dengan menyimpan makna huruf MIN memberi faidah Lil-Bayan (penjelasan) apabila Mudhaf Ilaih-nya berupa jenis dari Mudhaf. Teori ini tidak bisa di aplikasikan pada susunan Islam nusantara karena nusantara bukan jenis dari kata islam, jika dipaksakan akan memunculkan pemahaman bahwa islam nusantara merupakan islam min (dari) Nusantara, toh pada kenyataannya Islam hanya satu yaitu agama yang dibawa oleh Rasul akhir zaman.

Peng-Idhafah-an dengan menyimpan makna huruf LAM berfaidah Kepemilikan atau Kekhususan (Li-Milki, Li-Ikhtishash). Memahami dengan teori ini akan memunculkan takhsis dalam terhadap islam, islam untuk orang nusantara, realitanya islam agama yang universal, bukan agama yang khusus golongan atau bangsa tertentu.

Sedangkan Idhafah dengan menyimpan makna huruf  FI berfaidah Li-Dzarfi apabila Mudhaf Ilaih-nya berupa Dzaraf  bagi lafazh Mudhaf. Teori ini merupakan yang paling tepat digunakan dalam memahami term islam nusantara, karena sebagaimana disebut di atas kata nusantara merupakan nama bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, artinya Islam Fi Nusantara, agama islam yang berada dinusantara, yaitu agama islam yang dibawa oleh Nabi yang diimani oleh orang-orang nusantara. Makna kata islam disini tidak tereduksi karena di-idhafah-kan dengan kata nusantara, karena hubungan antara Mudhaf-Mudhaf ilaih disini sebatas menunjukan spesifikasi tempat atas Mudhaf ilaih.

Dari uraian singkat diatas, dapat dipahami bahwa term Islam Nusantara bukan merupakan upaya me-lokal-kan islam, atau bahkan membuat “agama” Islam Nusantara akan tetapi usaha dalam memahami dan menerapkan islam tanpa mengesampingkan tempat islam di imani dan dipeluk.

Memahami Islam Nusantara Melalui Dakwah Rasulullah SAW
Tulisan Ustadz Ma'ruf Khozin berikut perlu kita pahami dengan cermat agar kita benar-benar faham apa itu Islam Nusantara.

Pertama-tama, kalau kita memahami dua kata ini apa adanya pasti akan berselisih paham. Namun, yang dikehendaki bukanlah makna literleg, tetapi ada suku kata yang dibuang (حذف المضاف), bahkan bentuk seperti ini kita temukan di dalam al-Quran, misalnya:

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا  [يوسف/82]

“Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ...". (Yusuf: 82)

Dari mana kalimat ‘Penduduk’ dalam penafsiran tersebut? Sebab kalau tidak ada kalimat ‘Penduduk’ justru semakin mempersulit makna, apa mungkin sebuah ‘negeri’ akan ditanya? Maka maksudnya adalah penduduk negeri. Demikian halnya ‘Islam Nusantara’ memiliki kata yang hakikatnya tersimpan di dalamnya, yaitu ‘Islam Di Nusantara’. Boleh jadi tentang sejarah Islam di Nusantara, metode dakwah Islam di Nusantara, perkembangan Islam di Nusantara, dan sebagainya.

Kedua, Islam seluruh dunia, sejak masa Rasulullah hingga kiamat, semua tetap sama, Islam itu sendiri. Hanya saja geografisnya berbeda, sosio-kulturnya tidak sama, masa dulu dan sekarang mengalami perubahan.

Ambil contoh Makkah dan Madinah di Jazirah Arab, Rasulullah bersabda:

لَا يَجْتَمِعُ دِينَانِ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ

“Tidak akan berkumpul 2 agama di Jazirah Arab” (HR Malik dalam al-Muwatha’ dan al-Baihaqi. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebut banyak jalur dalam al-Talkhir al-Habir)

Murid Imam Malik meriwayatkan:

الموطأ - رواية محمد بن الحسن - (ج 3 / ص 333)

 قال محمد : إن مكة والمدينة وما حولهما من جزيرة العرب وقد بلغنا عن النبي صلى الله عليه و سلم أنه لا يبقى دينان في جزيرة العرب . فأخرج عمر رضي الله تعالى عنه من لم يكن مسلما من جزيرة العرب لهذا الحديث

“Muhammad bin al-Hasan berkata: “Sesungguhnya Makkah, Madinah dan sekitarnya adalah bagian dari Jazirah Arab. Telah sampai kepada kami bahwa Nabi bersabda: “Tidak akan ada 2 agama di Jazirah Arab”. Lalu Umar mengeluarkan Non Muslim dari Jazirah Arab, berdasarkan hadis ini”

Tentu saja negeri umat Islam di luar Arab memiliki perbedaan, sebab mereka bertetangga dengan non Muslim, berkerabat dengan orang kafir, bahkan ada yang berinteraksi dengan komunis sekalipun. Meski demikian mereka tetap Islam, tetap shalat, puasa, zakat, haji dan kewajiban lainnya.

Kuatnya Islam yang ditanamkan oleh Rasulullah di Arab, juga berbeda dengan Islam yang datang ke negeri lain, sebagaimana sabda Nabi:

إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِى جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِى التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ

“Sungguh syetan telah berputus asa untuk disembah oleh orang-orang yang shalat di Jazirah Arab. Tetapi upaya syetan adalah memfitnah (agar berperang) diantara mereka sendiri” (HR Muslim)
Saya sendiri menyaksikan bagagiama indahnya shalat di Makkah dan Madinah, setengah jam sebelum adzan Umat Islam melangkah menuju Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, bahkan shaf terdepan telah penuh.

Ketiga, wajah Islam yang dibawa oleh penyebar Islam di tanah Jawa adalah Islam yang menjunjung tinggi akhlak, kesantunan, kelembutan dan sebagainya. Inilah yang tergambar dalam hadis berikut yang diteladani oleh para kiai dan ustadz dari sosok Rasulullah:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَاحِشًا وَلاَ لَعَّانًا وَلاَ سَبَّابًا

“Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah bukanlah orang yang berkepribadian buruk, bukan tukang laknat dan bukan tukang caci-maki” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Keempat, penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para wali memiliki persamaan dengan pertama kali Rasulullah Saw menyebarkan Islam di tanah Arab, yaitu kondisi masyarakat yang telah beragama,
berkeyakinan dan telah memiliki budaya dan tradisi setempat. Di Jawa khususnya, telah mengakar sebuah keyakinan dari agama Hindu dan Budha dalam banyak aspek terlebih yang berkaitan dengan kematian, ritual-ritual selamatan dan sebagainya. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di atas, Rasulullah Saw juga menghadapi sebuah kondisi masyarakat yang hampir sama dengan mewarisi beragam tradisi dan adat istiadat dari leluhur warga Arab, utamanya dengan keberadaan Ka'bah. Sebuah tradisi dan keyakinan yang menyangkut dengan tauhid dan masalah ketuhanan semua telah dihapus oleh Rasulullah Saw dengan membawa aqidah sesuai wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada RasulNya. Namun ketika tradisi tersebut tidak merusak sendi-sendi akidah ketauhidan, ternyata Rasulullah memberi ruang toleransi menerima tradisi tersebut, dengan tujuan lebih besar yaitu agar mereka bisa menerima Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat sahih berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْها زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا أَلَمْ تَرَيْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوُا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوْا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلاَ تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ قَالَ لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ (أخرجه مالك فى الموطأ رقم 238 وأحمد رقم 26299 والبخاري رقم 1583 ومسلم رقم 3306 والنسائي رقم 2900 وابن خزيمة رقم 2726)

"Diriwayatkan dari Aisyah istri Nabi Saw bahwa Rasulullah Saw berkata kepadanya: Tidak tahukah kamu bahwa kaum-mu (Quraisy) ketika membangun Ka'bah tidak sesuai dengan pondasi Ibrahim? Saya berkata: Mengapa Engkau tidak mengembalikannya sesuai pondasi Ibrahim? Nabi menjawab: Kalau mereka tidak baru saja (masuk Islam) dengan kekafirannya, maka pasti Aku melakukannya" (HR Malik dalam al-Muwatha' No: 238, Ahmad No 26299, al-Bukhari No 1583, Muslim No 3306, al-Nasai No 2900, dan Ibnu Khuzaimah No 2726)

Al-Qadli Iyadl dan Shalihi al-Syami berkata:

وَتَرْكُهُ بِنَاءَ الْكَعْبَةِ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ مُرَاعَاةً لِقُلُوْبِ قُرَيْشٍ وَتَعْظِيْمِهِمْ لِتَغَيُّرِهَا وَحَذْرًا مِنْ نِفَارِ قُلُوْبِهِمْ لِذَلِكَ وَتَحْرِيْكِ مُتَقَدِّمِ عَدَاوَتِهِمْ لِلدِّيْنِ وَأَهْلِهِ فَقَالَ لِعَائِشَةَ فِي الْحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكَ بِالْكُفْرِ لَأَتْمَمْتُ الْبَيْتَ عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيْمَ (الشفا بتعريف حقوق المصطفى للقاضي عياض 2 / 200 وسبل الهدى والرشاد في سيرة خير العباد للصالحي الشامي 13 / 12)

"Rasulullah membiarkan Ka'bah dibangun tidak sesuai dengan pondasi Ibrahim, karena menjaga perasaan hati kaum Quraisy supaya tidak goyah dan menghindar supaya hati mereka tidak benci, juga agar tidak menyulut permusuhan dengan agama Islam dan pemeluknya. Kemudian beliau berkata pada Aisyah dalam hadis sahih: Kalau mereka tidak baru saja (masuk Islam) dengan kekafirannya, maka pasti Aku menyempurnakannya sesuai pondasi Ibrahim" (al-Syifa II/200 dan Subul al-Huda wa al-Rasyad XI/12)

Sesuai dengan metode dakwah Rasulullah ini, Walisongo dan para penyebar Islam terdahulu tidak serta merta menghilangkan dan menghapus tradisi dari agama sebelum Islam. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang telah membudaya dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, serta mencoba meraih hati mereka agar masuk Islam dengan menyelipkan ajaran Islam dalam tradisi mereka. 

Meski demikian, ajaran yang dimasukkan dalam tradisi tersebut bukan hal yang terlarang dalam agama bahkan termasuk ibadah dan pendekatan diri pada Allah, semisal dzikir, mendoakan orang mati dalam selametan, membaca surat Yasin dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.

Oleh karena itu Ibnu Muflih al-Maqdisi al-Hanbali berkata:

وَقَالَ ابْنُ عَقِيْلٍ فِي الْفُنُوْنِ لاَ يَنْبَغِي الْخُرُوْجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ إلاَّ فِي الْحَرَامِ فَإِنَّ الرَّسُوْلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَكَ الْكَعْبَةَ وَقَالَ لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ الْجَاهِلِيَّةَ  (الآداب الشرعية لابن مفلح المقدسي الحنبلي 2 / 114 وكذا في مطالب أولي النهى لمصطفى بن سعد السيوطي الرحيبانى 2 / 367)

"Ibnu Aqil berkata: Tidak dianjurkan untuk keluar dari tradisi masyarakat kecuali dalam hal yang haram. Sebab Rasulullah Saw membiarkan Ka'bah (tidak sesuai pondasi Nabi Ibrahim), dan beliau bersabda: Kalau mereka tidak baru saja (masuk Islam) dengan agama jahiliyahnya" (al-Adab al-Syar'iyah II/114. Begitu pula dalam kitab Mathalib Uli al-Nuha II/367)

Di satu sisi Rasulullah Saw menghargai tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat, di sisi lain ketika Rasulullah Saw dihadapkan dengan tradisi yang menyimpang maka Rasulullah tidak menghapusnya, namun menggantinya dengan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah hadis berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا فَقَالَ قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ (أخرجه أحمد رقم 12025 وأبو داود رقم 1134 والنسائى فى الكبرى رقم 1755 وأبو يعلى رقم 3820 والحاكم رقم 1091 وقال  صحيح على شرط مسلم)

"Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: ketika Rasulullah Saw tiba di Madinah, penduduknya telah memiliki dua hari (Nairuz dan Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari bersenang-senang mereka. Kemudian Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu bagi kalian dengan yang lebih baik, yaitu Hari Adlha dan Fitri" (HR Ahmad No: 12025, Abu Dawud No: 1134, al-Nasai dalam Sunan al-Kubra No: 1755, Abu Ya'la No 3820, al-Hakim No: 1091, dan ia berkata Hadis ini sahih sesuai kriteria Muslim)

Ahli Hadis Ibnu Hajar berkata:

أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ (بلوغ المرام من أدلة الأحكام للحافظ ابن حجر 1 / 179)

"Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Nasai dengan sanad yang sahih" (Bulugh al-Maram I/179)

Dalam hadis tersebut dijelaskan tentang latar belakangnya bahwa di Madinah (sebelum Rasulullah hijrah bernama Yatsrib) para penduduknya telah memiliki 2 nama hari yang dijadikan sebagai hari perayaan dengan bersenang-senang, persembahan pada patung dan sebagainya. Maka, kedatangan Islam tidak menghapus tradisi berhari raya, namun dengan merubah rangkaian ritual yang ada di dalamnya dengan shalat dan sedekah dalam Idul Fitri, juga shalat dan ibadah haji atau qurban dalam Idul Adlha (HR al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman No 3710).

Wallahu A'lam.

www.ngaji.web.id