Cak Imin dan Ekspresi Politik Nahdliyin

Cak Imin yang sekarang menjabat Wakil Ketua MPR RI mengungkapkan bahwa Nuzulul Quran dan Hari Lahir Pancasila yang digelar GP Ansor merupakan ikhtiar memperkuat kekuatan nilai kemanusiaan yang menjadi milik bangsa Indonesia sebagai mana Gus Dur mewariskan nilai itu.

Cak Imin dan Ekspresi Politik Nahdliyin
Sabtu malam tanggal 2 Juni 2018 yang lalu penulis menyaksikan siaran live streaming pada akun facebook Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor yang menayangkan secara langsung acara Peringatan Nuzunul Qur’an dan Hari Lahir Pancasila.

Acara dengan tema “Al-Qur’an Suci, Pancasila Sakti” itu diselenggarakan oleh PP GP Ansor dikantornya dikawasan Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat dengan dihadiri oleh beberapa tamu penting petinggi negeri ini seperti Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Wakil Ketua MPR RI H. Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, KH. As’ad Said Ali mantan Kepala BIN dan lainnya.

Acara yang nampak cair dan penuh guyonan ini sungguh jauh dari kesan canggung terlebih ketika Gus Yaqut sapaan akrab H. Yaqut Cholil Qoumas Ketua Umum PP GP Ansor menyampaikan sambutannya.

Bahkan Gus Yaqut sempat melontarkan pujian kepada Cak Imin terkait langkah-langkahnya selama ini yang dengan gagah berani mencalonkan diri sebagai wakil presiden sehingga bisa dengan leluasa bisa menemui dan terima oleh siapapun dan kapanpun.

Gayung bersambut, Cak Imin pun kemudian melontarkan pujian yang sama kepada Gus Yaqut dan GP Ansor yang telah memiliki keberanian tegakkan pilar Islam Rahmatan Lil’alamin dan nilai Pancasila sebagai salah satu warisan perjuangan kiayi pendiri NU.

Lebih dari itu, Cak Imin yang sekarang menjabat Wakil Ketua MPR RI mengungkapkan bahwa Nuzulul Quran dan Hari Lahir Pancasila yang digelar GP Ansor merupakan ikhtiar memperkuat kekuatan nilai kemanusiaan yang menjadi milik bangsa Indonesia sebagai mana Gus Dur mewariskan nilai itu.

Yang menarik dari ungkapan pidato Cak Imin adalah terkait pemikiran beliau atas poros agama yang diramu dengan nilai lokal akhirnya mengkristal menjadi nilai kemanusiaan akan berkontribusi besar terhadap perdamaian pada tataran global. 

Meskipun dalam penyampaianya nampak terbata-bata karena kondisi fisiknya yang nampak tiada lelah bersilaturahim dengan siapapun dan kemanapun. Tetapi, bagi penulis apa yang beliau sampaikan terkait korelasi Al-Qur’an dan Pancasila sungguh mencerahkan dan nyaris penuh dengan kandungan “protein tinggi”.

Penulis kira, apa yang Cak Imin sampaikan adalah kedalaman batin beliau yang selama ini mengenal betul bau keringat mereka yang menghendaki kedamaian di negeri ini senantiasa terawat dan tumbuh menjadi jati diri bangsa Indonesia.

Cak Imin menjelaskan, seluruh isi kandungan Alquran untuk menjalin persaudaraan (ukhuwah), saling mengenal satu sama lain (taaruf) dan membawa kedamaian (salam) harus sampaikan dengan baik kepada siapa pun.

Penulis sepakat bahwa sudah selayaknya masyarakat kita yang majemuk harus disemai dengan ayat-ayat Quran secara damai dan penuh keramahan. Hindari unsur-unsur kebencian dan caci maki dalam menyampaikan ayat dan risalah.

Tak berlebihan rupanya bila penulis sebut Cak Imin sebagai pewaris Bung Karno yang telah meletakkan dasar Pancasila dan Gus Dur yang melanjutkannya. Sudurisme adalah wujud kongkrit warisan itu.

Politik Ramah
Apa yang dipraktekkan oleh Cak Imin dengan segala hal yang mengiringinya penulis kira bagian dari ekspresi politik Naddliyin ditengah partai politik Islam di Indonesia mengalami polarisasi. Pada saat yang sama, partai berbasis Islam di Indonesia tak pernah menjadi pemenang, padahal muslim adalah penduduk mayoritas.  
Suka tidak suka, politik muslim tentu melibatkan kompetisi atau persaingan, baik mengenai penafsiran simbol-simbol maupun demi penguasaan atas institusi-institusi formal maupun non-formal.

Karenanya, benturan dengan berbagai kepentingan tidak bisa dihindarkan. Karena proses politik mengisyaratkan adanya alokasi kewenangan dan sumber-sumber daya dan batas-batas atas kewenangan itu. Wajar, jika pada prosesnya tak jarang muncul pameo “siapa mendapatkan apa, kapan dan dimana”.

Kecenderungan untuk meletakkan perjuangan demi kekuasaan sebagai jantung politik tidak lah salah dan belum tentu juga benar. Karena prinsip perjuangan yang dilakukan dalam politik adalah sebagai ikhtiar kendali atas kekuatan yang terorganisasi sehingga timbal baliknya adalah kemaslahatan.

Pemikiran politik yang hanya memusatkan pada hubungan kekuasaan dan kepentingan an sich sudah barang tentu tidak akan mengindahkan hubungan antar individu dalam masyarakat dan antar masyarakat. Boleh jadi paham inilah yang sedang Cak Imin tata ulang.

Ditahun politik ini, beberapa partai politik dengan berbagai cara meraih simpati umat muslim. Tetapi sayangnya praktek-praktek politik yang diterapkan justeru tidak mencerminkan keadaban, malah cenderung menonjolkan (maaf) “menjual” agama untuk kepentingannya.

Cak Imin bersama PKB membuka jalan baru dengan menawarkan praktek-praktek politik yang menjungjung tinggi nilai kemanusiaan sebagaimana warisan Gus Dur. Politik tanpa menebar benci, fitnah dan adu domba hanya akan mengoyak nilai kemanusiaan itu sendiri, makanya Cak Imin dan PKB meninggalkan pola itu.

Mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera, tenteram, aman, damai, harmonis dan lainnya bukan sesuatu yang mudah. Karenanya, upaya sungguh-sungguh menyentuh akar permasalahan masyarakat adalah niscaya.

Ikhtiar inilah yang sedang dilakukan Cak Imin dengan tanpa lelah menangkap dan mengantisipasi persoalan mendasar ditengah masyarakat yang kemudian segera dicarikan upaya penanganannya.

Sudah menjadi rahasia umum bila umat Islam sebagai mayoritas penduduk Indonesia dihadapkan pada tiga persoalan besar, yakni: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Nilai kemanusiaanlah yang kongkrit bisa mengangkat martabat umat atas persolan yang menderanya.

Menebar kepedulian terhadap penderitaan umat, berbagi terhadap fakir miskin dan anak yatim piatu terus dilakukan Cak Imin dan PKB sebagai wujud dakwah bil hal, meski masih ada saja yang bilang itu pencitraan.

Dakwah bil hal yang sedang dipraktekkan Cak Imin dan PKB menghantarkan kesadaran pada kita bahwa politik sesungguhnya tidak melulu berorientasi remeh temeh kekuasaan. Lebih dari itu, ia adalah jalan menjungjung tinggi marwah kemanusiaan.

Ekspresi Politik NU
Tidak sedikit warga NU (Nahdliyin) yang masih memiliki mind set bahwa NU tidak layak untuk berpolitik karena ia ormas keagamaan. Kalaupun mau berpolitik jangan terfokus pada salah satu partai politik, PKB umpamanya. Inilah fakta yang tidak bisa terbantahkan.

Bila dahulu ada partai NU dan sekarang ada PKB yang lahir dari rahim NU. Bagi NU, politik bukan barang haram, tetapi ia sebagai alat perjuangan. Wajar bila kemudian KH. Wahab Chasbullah pernah mengibaratkan gula dan teh pada NU dan politik.

Bagi NU, politik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan jama’ahnya. Untuk meraih keselamatan hidup di dunia dan akhirat harus menempuh jalan kesejahteraan hidup baik melalui proses dagang, bertani, pendidikan dan lainnya.

Partai NU yang didirikan tahun 1952 sesungguhnya bertujuan mengembangkan agama Islam melalui dakwah atau tabligh melaui pengajian-pengajian untuk menghantarkan kesadaran umat Islam untuk kembali pda kewajibannya menjaga agama, bangsa dan tanah air.

Walhasil, NU sejak didirikan mengemban dua tanggung jawab mulia, yakni: keumatan dan kebangsaan, inilah yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pertama, tanggug jawab keumatan. NU didirikan untuk menjaga dan memelihara terbinanya praktek ajaran Islam Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja) dengan tiga pilarnya, yakni: tauhid, syari'at’dan tasawuf.

Kedua, tanggung jawab kebangsaan. Konteks ini dihantarkan untuk mewujudkan kemashlahatan bersama di negeri yang plural ini. Dalam hal ini, nyaris tidak ada sekat bagi muslim maupun non-muslim untuk mewujudkan cita-cita bersama, yakni: kemerdekaan, kesejahteraan, keadilan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan perdamaian dunia.

Jadi, NU tidak cukup hanya menjadi gerakan kultural semata karena diluar sana NU dituntut masuk dalam sistem pemerintahan kita sebagai counter attack atas upaya pihak-pihak yang bermaksud memecah belah keutuhan NKRI dan penyebaran konflik agama dari luar.

Sudah terbukti, bahwa ideologi trans-nasional seperti HTI telah membuat gaduh negeri ini dan mengancam kehidupan kebersamaan kita sebagai umat beragama yang menjungjung tinggi dan menghormati perbedaan.

‘Ala kulli hal, Cak Imn dan PKB hari ini telah memperlihatkan ekspresi politik sesuai karakter politik NU yang senantiasa merawat bandul perbedaan berada dalam keseimbangannya. Karenanya NKRI adalah harga mati, tidak bisa ditawar lagi.

Tanpa tendeng aling-aling Cak Imin bersama kader NU yang sekaligus kader PKB dan menduduki jabatan di pemerintahan menjadi garda terdepan menghalau rongrongan terhadap pemerintahan sah dan rongrongan ideologi impor yang mengancam keutuhan negeri ini.

Berpolitik dengan menggunakan baju agama sungguh bukan karakter politik NU sebagaimana diwariskan para pendirinya. Politik yang sekedar berbaju agama hanya akan merugikan umat Islam sendiri.

Sejarah memang akan terus berulang, seperti halnya gerakan separatis (makar) dengan masker dalih-dalih agama yang berujung pada prilaku teror baru-baru ini nyaris menyesakkan mata batin kita. Penulis kira, Cak Imin dan PKB sedang menjalankan amanat politik kiai pendiri bangsa menjadi pribadi yang religius sekaligus nasionalis.
Penulis adalah penimat masalah sosial, politik dan keagamaan. Tinggal di Depok.