Cak Imin lahir di Jombang, Jawa Timur, 24 September 1966. Ayahnya adalah Muhammad Iskandar, guru di pondok pesantren Manbaul Ma’arif, Jombang, Jawa Timur. Menikah dengan Rustini Murtadho dan memiliki tiga anak.
Dalam pendidikannya, Cak Imin menyelesaikan pendidikan Madrasah Tsanawiyah Negeri Jombang dan Madrasah Aliyah di Yogyakarta. Kemudian melanjutkan sarjananya di FISIP UGM. Ia melanjutkan masternya di Universitas Indonesia bidang komunikasi.
Sejak duduk di bangku kuliah, Cak Imin aktif di tempat-tempat diskusi dan juga aktif di pergerakan mahasiswa. Dia bergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan terpilih menjadi Ketua Cabang PMII Yogyakarta pada 1994-1997. Selain itu, dia juga aktif di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Dalam karier politik, ia bersama tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama termasuk Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekaligus ditunjuk sebagai sekretaris jenderal PKB pada tahun 1998. Dan pada Pemilu 1999, Cak Imin terpilih sebagai anggota DPR RI dari PKB pada usia 33 tahun dan menjadi Wakil Ketua DPR RI 1999-2009.
Dia termasuk pimpinan termuda di DPR yang pernah ada saat itu. Sampai pada kesampatan selanjutnya, dirinya diminta untuk menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2009-2014.
Pemuda Produktif
Dalam rekam jejaknya, Cak Imin juga telah memiliki banyak karya buku. Baru-baru ini terdapat dua buku telah diluncurkannya. Buku berjudul “Kontekstualisasi Demokrasi di Indonesia” dan “Diskriminasi, Intoleransi, dan Politik Multikulturalisme” telah diluncurkanya bersamaan dengan tasyakuran hari kelahirannya, 24 September 2017 di Jakarta.
Pada tahun 2016, cucu dari KH Bisri Syan(m)suri pendiri NU, membuat sebuah gerakan Nusantara Mengaji, yang menurutnya sebagai upaya untuk mendorong masyarakat Islam pada kemajuan bangsa melalui peningkatan kualitas spiritual. Menggunakan metode penanggalan Qomaria, ia menginisiasi sebuah gebrakan khataman Alquran serentak dari Sabang sampai Merauke.
Cak imin juga mengajak masyarakat muslim membaca sholawat nariyah bersama-sama setelah Maghrib, pada Sabtu, 17 September 2016. Yang mana menurutnya, Nariyahan Nusantara merupakan salah satu upaya untuk menjauhkan bangsa ini dari persoalan yang seolah tak kunjung selesai. Sebab, salah satu keutamaan membaca sholawat nariyah adalah diangkat derajatnya.
Melihat banyak karier yang dilaluinya yang begitu elok dan kuat, tak heran jika banyak orang memberikan dukungan untuk dirinya maju sebagai Cawapres. Dengan modal 9,04 persen suara PKB pada Pemilu Legislatif 2014 lalu, suara itu bisa menjadi kontribusi untuk memenuhi ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 25 persen. Ditambah lagi dengan basis massa yang kuat sebagai Ketua Umum PKB dan juga warga Nahdlatul Ulama.
Panggung Politisi Muda
Jika presidential threshold disepakati nol persen, maka memungkinkan banyak tokoh yang akan maju. Minimal sejumlah ketua umum partai politik bisa maju sebagai calon wakil presiden.
Dalam hal calon Presiden, sepertinya partai-partai politik akan tetap menjagokan Jokowi dan Prabowo. Namun untuk posisi Cawapres, kini bermunculan nama-nama seperti Zulkifli Hasan dari PAN, Agus Harimurti Yudhoyono dari Demokrat, Romahurmuzy dari PPP, dan Muhaimin Iskandar dari PKB.
Lanjut lagi, Hary Tanoe dengan partai barunya juga ingin menjajal keberuntungan. Surya Paloh dari NasDem sudah tentu tidak akan merelakan begitu saja jabatan cawapres kepada sosok lain.
Menurut hemat penulis, yang juga sesuai dengan penilaian KH Maman Imanul Haq, bahwa lebih baik muncul Cawapres dibandingkan isu-isu SARA, sebagaimana telah kita saksikan pada Pilkada DKI Jakarta.
Apa yang pernah disampaikan oleh bapak presiden pertama kita, Soekarno dalam kongres BPUPKI pertama, 29 April 1945, “gantungkanlah cita-citamu setinggi langit, bermimpilah setinggi langit, dengan begitu jika kamu jatuh, kamu akan jatuh divantara bintang-bintang”. Mari kita lihat manakah dari mereka yang pantas menjadi Cawapres ataukah Capres dengan kekuatan dari masing-masing partai.
Bila melihat politik identitas yang kental akan nuansa Islam, cukup pantas kiranya Cak Imin sebagai representasi yang bisa membawa stabilitas politik dalam Islam di peta nasional. Semua gagasan atau wacana untuk mengusung Cak Imin menjadi Wapres ataupun Cawapres bukan merupakan impian kosong.
Dengan kapasitas dan basis yang dimilikinya, tinggal mempersiapkan dengan kerja ekstra mengingat masyarakat Indonesia akan sangat bangga bila dipimpin oleh tokoh muda, berintelektual, dan sepiritual yang matang.
nalarpolitik.com | Ach. Mudzakki M
politik
Mengukur Rasio Dukungan Muhaimin Iskandar sebagai Wapres
Muhaimin Iskandar, biasa dipanggil Cak Imin, kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Belakangan banyak mendapatkan dukungan untuk maju sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang.