Perjalanan menantang, dalam misi menegakkan pilar Islam kelima dan terakhir...
Seiring waktu kita telah kehilangan begitu banyak tradisi yang indah dari Islam. Salah satunya adalah rombongan karavan peziarah haji, yang menjadi pemandangan sehari-hari di daratan semenanjung Arabia di masa lalu. Karavan ini adalah kelompok orang yang melakukan perjalanan jauh bersama-sama dan bertemu dengan kafilah yang lebih besar, dan dari sana mereka bergabung dalam perjalanan ke Mekkah untuk menunaikan haji.
Jalur darat yang paling banyak diceritakan adalah dari Kairo dan dari Damaskus. Ada banyak kisah menarik tentang para peziarah haji dan perjalanan mereka. Seperti perjalanan Ibn Battuta, kisah perjalanan haji dengan kereta api, bahkan kisah mereka di atas kapal uap di awal abad ke-20. Namun dari semua kisah perjalanan ziarah haji, tantangan dan bahaya lebih banyak terjadi di masa lalu di abad ke 13, sebagai bukti keteguhan hati dan keikhlasan mereka.
Dalam sebuah perjalanan panjang ditengah gurun pasir yang terik. Sekelompok karavan bergerak perlahan melawan angin. Mereka adalah para peziarah haji yang melewatkan siang malam diatas pelana unta sementara lainnya mengikuti dengan berjalan kaki.
Kala malam tiba, dibawah langit tanpa cahaya, mereka terus melangkah mengikuti bayangan rekan-rekan mereka yang berada di barisan depan. Kusir dan penumpangnya sesekali memejam mata menikmati kantuk kemudian tersentak bangun, dan kembali terpejam. Di tengah gelapnya malam mereka melepas lelah, sambil melihat dari kejauhan tampak kereta-kereta berjalan pelan seperti menyapu permukaan gurun dengan goyangan lentera, suara samar rebana, ringkikan kuda dan unta.
Tak berapa lama, langit di timur sedikit lebih terang, menandai datangnya pagi. Rombongan kafilah kembali bersiap melangkahkan kaki di tengah hamparan pasir yang berkerikil. Saatnya matahari mulai naik memberi sedikit sengatan di kulit. Unta berdeguk, kuda pun meringkik, menolak keras untuk berdiri. Mereka sama lelahnya seperti tuan-tuan yang menunggangi mereka dan yang berjalan kaki. Namun, tanpa emosi semua kembali berjalan diatas komando yang diteriakan pemimpin rombongan kafilah.
Saat pertama kali mereka melihat satu titik kecil dalam jangkauan mata, mereka menatap dengan semangat, meskipun kembali menghilang diantara batas langit dan permukaan pasir. Dorongan semangat itu membuat kafilah berupaya menaiki Jabal Nur, sebuah bukit kecil untuk memastikan arah tujuan. Mereka mendaki lereng bukit, dan berhenti di puncak untuk memastikan titik hitam adalah ujung perjalanan mereka.
Tak jauh dari bukit tempat kafilah berdiri, ter-hampar di depan mereka Lembah Ibrahim. Tampak bangunan rumah-rumah berdinding putih, sebuah kota di tengah dataran kecil yang hijau, itulah Mekkah. Seketika tatapan mata mereka dipenuhi emosi, kerinduan yang tersimpan dalam hati, sepanjang perjalanan berbulan-bulan bahkan bertahun lamanya.
Sebuah realisasi dari pengerahan tenaga yang luar biasa dari rombongan peziarah ke kota suci itu, akhirnya menemukan tujuannya, yakni Baitullah.
Perjalanan, Waktu dan Keimanan
Selama berabad-abad, jejak kaki kuda, unta, para peziarah, dan teriakan kafilah terekam di setiap sisi lembah, di desa-desa dan masjid.
Mulai dari pantai Atlantik Afrika dan Semenanjung Iberia (di ujung barat daya Eropa, meliputi Spanyol, Portugal, Andora, Gibraltar dan sebagian Perancis) sampai pantai Pasifik. Dari kawasan Cina, dari Zanzibar di Selatan ke Kaukasus hingga sisi utara Asia Tengah. Jejak jejak itu bahkan melewati sudut desa-desa di kawasan paling terpencil dunia Islam.
Setiap peziarah haji telah melewatinya dan menyimpan memori yang begitu nyata, dalam balutan keimanan.
Setiap umat muslim bisa segera memahami bahwa dalam jaringan yang luas dari ibadah haji, mereka tidak pernah benar-benar merasa asing dengan sesama muslim dari berbagai negeri. Dendangan musiknya, gaya berpakaiannya dan aksen bahasanya bisa berbeda-beda antara mereka di Tangier dan di Delhi atau antara di Samarkand dan di Mekkah.
Tetapi kalender, etiket dan banyak lagi perilaku umat muslim selalu identik dan semuanya hampir serupa.
Di mana-mana umat muslim shalat lima kali di waktu yang sama setiap hari, menghadap ke kiblat. Di mana pun itu, mereka berpuasa bersama-sama selama Ramadhan. Mereka juga bergabung dengan jamaah lain untuk menyembelih hewan qurban di akhir ritual haji. Di mana saja mereka mengamalkan kebaikan dan mengambil hikmah dari Al-Qur'an dalam kehidupan sehari-hari. < selanjutnya >
*Ditulis oleh Erwin E Ananto.