Melempar jumrah adalah satu kewajiban dalam haji yang harus dilakukan pada hari Id dan tiga hari tasyriq bagi orang-orang yang tidak ingin mempercepat pulang dari Mina, atau saat hari Id dan dua hari tasyriq bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina.
Adapun waktu melontar jumrah adalah setelah matahari condong ke barat seperti dilakukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan dikuatkan dengan sabdanya, “Ambillah manasikmu dariku”. Karena itu tidak boleh mendahulukan melontar sebelum waktunya. Adapun mengakhirkannya karena kondisi terpaksa seperti berdesak-desakan, maka mayoritas ulama memperbolehkan karena mengqiyaskan dengan keadaan para penggembala.
Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada mereka melontar untuk hari Id setelah tengah malam Id dan menggabungkan melontar untuk dua hari tasyriq pada hari ke -12 Dzulhijjah.
Kebanyakan orang beranggapan bahwa melempar jumrah sama halnya dengan melempar setan yang sedang diikat di tugu jamarot. Saking yakinnya dengan keyakinan ini, sampai-sampai mencari batu yang besar untuk melontar jumrah. Bahkan sampai ada yang melempar dengan sandal, sepatu, botol dan yang lainnya.
Anggapan ini ada benarnya juga; karena jika kita telusuri ternyata mereka berdalih dengan perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma saat menceritakan kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam,
عن ابن عباس رضي الله عنهما رفعه إلى النبي ‘ قال :” لما أتى إبراهيم خليل الله المناسك عرض له الشيطان عند جمرة العقبة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثانية فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ، ثم عرض له عند الجمرة الثالثة فرماه بسبع حصيات حتى ساخ في الأرض ” قال ابن عباس : الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
Dari Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma, beliau menisbatkan pernyataan ini kepada Nabi, “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua.
Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.”
Ibnu Abbas kemudian mengatakan,
الشيطان ترجمون ، وملة أبيكم إبراهيم تتبعون
” Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim.”
Dari sisi sanad riwayat di atas tidak ada masalah; status sanadnya shahih. Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, beliau berdua menshahihkan riwayat ini.
Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas di atas. Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah melempari setan secara konkrit. Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar sedang terikat di tugu jumroh dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan yang mengenai tubuhnya.
Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas dalam perkataan beliau. Merajam setan disini tidak dimaknai makna konkrit, akan tetapi yang benar adalah makna abstrak. Artinya setan merasakan sakit dan terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah. Dalam pernyataan Ibnu Abbas diungkapkan dengan istilah “merajam setan”. Demikianlah yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam perkataannya tersebut.
Jadi, Hikmah melempar jumroh ini adalah sebagai perwujudan ketaatan kita kepada Allah SWT. Seperti yang diceritakan diatas, bahwa Nabi Ibrahim melempar batu ke arah setan agar mereka tidak menghalanginya untuk melaksanakan perintah Allah.
Dengan melempar jumrah artinya kita telah meniru sikap Nabi Ibrahim yang menyingkirkan segala godaan saat hendak melakukan perintah Allah. Wallahu A'lam.
jumrahonline