Pertanyaan ini sukses menipu banyak orang awam sehingga mereka menyangka bahwa Maulid Nabi adalah bid’ah yang terlarang. Rangkaian pertanyaan jebakan tersebut sebagai berikut:
1. Apakah Maulid Nabi merupakan ketaatan ataukah maksiat? Lumrahnya yang ditanya akan menjawab: “Maulid adalah ketaatan”.
2. Apakah Nabi mengetahui ketaatan tersebut atau tidak mengetahui? Di sini penanya mencoba mengarahkan pada salah satu jawaban saja. Bila yang ditanya menjawab bahwa Nabi tidak mengetahuinya, maka berarti dia menganggap Nabi bodoh dan tak mengerti soal ketaatan pada Allah. Akhirnya yang ditanya tak punya pilihan kecuali menjawab: “Nabi mengetahuinya”.
3. Bila Nabi mengetahuinya, maka apakah Nabi menyampaikan soal itu ataukah tidak? Dari sini yang ditanya terjebak dalam dilema. Bila dia menjawab bahwa Nabi tak menyampaikan soal itu berarti sama saja menuduh Nabi tak menyampaikan ajaran Islam, ini mustahil. Namun bila dia menjawab bahwa Nabi menyampaikannya, maka dia akan dituntut untuk menunjukkan ayat atau haditsnya, dan itu tak mungkin ada. Sampai pada titik ini, jebakan orang anti maulid ini berhasil membuat pengamal maulid kebingungan.
Sebenarnya rangkaian pertanyaan di atas sangat lemah bahkan sama sekali tak berdasar. Pertanyaan itu hanya menipu orang-orang awam yang kurang memahami ilmu fiqh atau ilmu ushul fiqh. Begini dua cara untuk mematahkan rangkaian pertanyaan jebakan tersebut:
Cara pertama:
Bila ditanya apakah maulid Nabi merupakan ketaatan atau maksiat? Dijawab saja bahwa ketaatan berarti melakukan perintah yang ada sebelumnya. Imam al-Jurjani menjelaskan:
الطاعة: هي موافقة الأمر طوعًا
“Taat: adalah melaksanakan perintah secara sukarela.” (al-Jurjani, at-Ta’rîfât, halaman 140)
Seperti halnya ketika Allah memerintahkan untuk shalat, maka mengerjakan shalat adalah ketaatan sedangkan meninggalkan shalat adalah maksiat atau pembangkangan terhadap perintah tersebut. Adapun maulid Nabi tidak diperintah secara khusus sehingga melakukannya tak termasuk dalam kategori ketaatan tetapi tak termasuk pula dalam kategori maksiat sebab tak ada aturan yang dilanggar.
Peringatan maulid bukanlah ibadah mandiri tetapi statusnya sama dengan segala bentuk tradisi (‘adah) manusia yang tak diperintah secara khusus tetapi tak juga melanggar aturan syariat, seperti menyelenggarakan rapat, seminar atau kajian mingguan atau bulanan. Tradisi-tradisi seperti itu hukum asalnya adalah netral (mubah), namun secara fiqih bila ternyata isi dan tujuan acaranya baik maka akan dihukumi sebagai kebaikan dan sebaliknya bila isi dan tujuannya negatif maka akan dianggap terlarang.
Dengan demikian, pertanyaan pertama tersebut yang hanya menyediakan dua opsi antara ketaatan dan maksiat adalah pertanyaan yang terbukti salah sehingga harus ditolak. Pertanyaan selanjutnya otomatis gugur dengan sendirinya.
Cara kedua:
Bila ditanya apakah maulid Nabi merupakan ketaatan atau maksiat? Dijawab saja bahwa maulid merupakan ketaatan dalam arti tindakan yang menimbulkan pahala sebab berisi kebaikan, meskipun tak mempunyai perintah yang khusus. Lalu bila ditanya apakah Nabi mengetahuinya atau tidak? Maka dijawab saja bahwa Nabi mengetahuinya.
Bila ditanya apakah Nabi menyampaikannya atau tidak? Maka dijawab saja bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh risalahnya tanpa terkecuali, hanya saja penyampaian Nabi Muhammad terhadap risalah dilakukan dengan dua cara, yakni: Disampaikan secara literal dengan nash (teks ayat atau hadits) yang spesifik atau disampaikan secara global dengan isyarat atau dalil-dalil yang bersifat global. Imam an-Nawawi menjelaskan:
وقد قال الله تعالى ما فرطنا في الكتاب من شيء ومعناه أن من الأشياء ما يعلم منه نصا ومنها ما يحصل بالاستنباط
“Allah Ta’ala telah berfirman: “Tak ada sesuatu pun yang Aku luputkan dari al-Qur’an”, maknanya bahwa sesungguhnya terdapat hal-hal yang diketahui secara tegas berupa nash dan ada pula yang dihasilkan dengan cara penggalian hukum (istinbat).” (an-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘Ala Muslim, juz XI, halaman 88)
Nah, peringatan Maulid Nabi tergolong hal yang tak ada nash-nya secara spesifik namun bisa masuk dalam cakupan kategori dalil-dalil global, misalnya: Dalam QS. Yunus: 58, Allah memerintahkan manusia untuk bergembira atas rahmat yang diberikan Allah sedangkan dalam QS al-Anbiya: 107 ditegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah rahmat bagi seluruh alam. Dengan demikian, maka bergembira atas keberadaan Nabi di dunia merupakan hal yang sesuai dengan perintah bergembira dalam QS. Yunus: 58 tersebut.
Dalil umum lainnya adalah tindakan Rasul yang memperingati hari kelahirannya setiap Senin dengan puasa adalah bukti bahwa momen kelahiran beliau layak diperingati. Dan banyak dalil-dalil lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan dalam artikel ini yang kesemuanya dapat menjadi patokan penggalian hukum (istinbath) terhadap hukum peringatan Maulid Nabi.
Dengan jawaban seperti di atas, penanya yang bermaksud menjebak itu akan kebingungan sebab mau tak mau dia harus mengakui bahwa memang tak semua hal ada nash-nya. Kesalahan pertanyaan itu makin jelas ketika logika itu dipakai pada seluruh hal lain yang tak ada nash-nya.
Hasilnya semua akan berstatus haram, meskipun sebenarnya sunnah atau bahkan wajib sekalipun; Pembukuan Al-Qur’an menjadi satu mushaf seperti sekarang, penulisan hadits Nabi beserta seluruh ilmu hadits, pendirian lembaga pendidikan Islam, penambahan azan shalat Jumat di masa Khalifah Utsman, penambahan harakat dan titik dalam mushaf, bahkan kebiasaan penduduk Makkah saat ini yang berkumpul secara massal tiap malam 27 Ramadhan saja untuk memburu Lailatul Qadar, dan seluruh hal yang tak ada di masa Rasul akan menjadi haram tanpa kecuali sebab itu semua adalah ketaatan yang kita tak punya pilihan kecuali dianggap “diketahui Rasul” tetapi tak sekalipun Rasulullah menyampaikannya kepada kita dengan instruksi nash yang spesifik tentang itu.
Namun tentu saja mengharamkan seluruh hal tersebut adalah tindakan konyol sehingga penanya tersebut harus mengakui bahwa teorinya salah total. Wallahu a'lam.
www.nu.or.id | Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember