nasional
Meski tulisan itu sudah berumur hampir 4 dekade, tetapi isi dan gagasannya masih sangat relevan, sebagaimana Goenawan Mohamad juga akui.
“Membaca kembali analisis Gus Dur yang masih relevan sampai hari ini.” ~ @gm_gm
Atas nama pengayaan wacana, terutama tentang “Islam politik” di Indonesia, Nalar Politik berupaya menghadirkannya kembali. Selengkapnya sebagai berikut:
"Mengapa Mereka Marah"
Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan “kaum fundamentalis”, atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “isu negara Islam”.
Pertanyaan yang patut direnungkan. Karena ia menunjuk pada perkembangan sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Juga bersangkutan dengan kemelut identitas kultural muslimin di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di negeri kita.
Pertanyaan kompleks sudah tentu tidak dapat dijawab sederhana. Membutuhkan renungan yang dalam, juga tidak kurang keberanian moral untuk melihat masalahnya dengan jernih. Dengan tidak hanyut oleh luapan marah, atau ketakutan yang disembunyikan rapat-rapat di balik kebanggaan akan peranan kesejarahan diri sendiri, atau kegairahan menudingkan jari terhadap kesalahan “pihak lain” dalam percaturan politik, kultural, dan keagamaan yang dihadapi.
Juga memerlukan kesanggupan untuk menelusuri mana wilayah kehidupan yang hakikatnya menjadi “agenda pemikiran” kaum muslimin, dan membedakannya dari agenda semu yang kini dijajakan sebagai pertanda kebangunan kembali Islam.
Pengagungan Diri
Kaum muslimin, di mana-mana, terbagi dalam dua kelompok utama. Pertama, mereka yang mengidealisasi Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme dan ideologi. Kedua, mereka yang menerima dunia ini “secara apa adanya”.
Pihak pertama menganggap Islam telah memiliki kelengkapan cukup untuk menjawab masalah-masalah utama umat manusia. Tinggal dilaksanakan ajarannya dengan tuntas, tak perlu lagi menimba dari yang lain. Karenanya, kalau dianggap perlu ada dialog dengan keyakinan, isme, atau ideologi lain, haruslah ia diselenggarakan dalam kerangka menunjukkan kelebihan Islam.
Seonggok “pembuktian” diajukan—umumnya dengan mengemukakan jawaban idealistis yang pernah dirumuskan Islam. Sudah tentu jawaban itu dilandaskan pada sejumlah pengandaian serba-idealistis pula: kalau saja umat manusia mau mengikuti ajaran Islam (padahal kenyataannya tidak), jika para pemimpin menggunakan moralitas Islam (padahal hanya satu-dua orang saja yang mampu), dan seterusnya.
Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern: ayat-ayat Quran dan hadis Nabi sebagai tolok ukur lahiriah satu-satunya bagi “kadar keislaman” segala sesuatu yang dikerjakan.
Tidak heran kalau sikap kritis terhadap keadaan sendiri tidak dapat dikembangkan sepenuhnya—terhalang oleh “sudah sempurnanya” Islam sendiri. Lalu menjadi wajar juga kecenderungan untuk hanya mampu mengagungkan diri sendiri, yang memandang remeh perkembangan. Perkembangan apa pun di luar keasyikan kita dengan kehebatan Islam lalu tidak memiliki nilai yang tinggi.
Kalau perkembangan di luar tidak dapat diabaikan, dicarikanlah alasan untuk menghindarkan pemikiran mendalam atasnya: ini buah pikiran komunistis, itu ide sekuler, dan seterusnya. Semakin besar kenyataan di luar menghadang ufuk pandangan kita, semakin hebat upaya melarikan diri dari perwujudan konkretnya.
Kalau diajukan pemikiran untuk mencari jawaban konkret (bukan hanya idealistis) dengan jalan menghadapkan ajaran Islam pada kerangka berpikir baru yang bersumber pada isme, keyakinan, dan ideologi lain, maka cap kemurtadan, kekafiran, dan (lagi-lagi) sekuler dipakaikan pada usul itu sendiri.
Mental Banteng
Timbullah apa yang kemudian dinamai sejumlah pengamat sebagai “mental banteng”: Islam harus dipagari rapat-rapat dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya. Tanpa disadari, mental seperti itu justru pengakuan terselubung akan kelemahan Islam.
Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan? Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan dalam pergaulan?
Kalau kepada sikap jiwa seperti itu diajukan tuduhan oleh pihak luar akan adanya fundamentalisme, atau tentang masih adanya pemikiran mendirikan “negara Islam”, jelas rasa marah yang muncul sebagai reaksi.
Bukankah karena ketakutannya terhadap “pengaruh negatif” luar, ia lalu curiga terhadap semua pendapat “orang luar” tentang dirinya? Bukankah kepekaan adalah hasil dari sikap mengunci pintu seperti itu?
Padahal penamaan sebagai kaum fundamentalis tidak ditujukan kepada semua muslimin yang mengidealisasi Islam dan menempatkannya sebagai alternatif tunggal bagi semua isme, keyakinan, dan ideologi yang ada. Cukup besar jumlah idealis muslimin yang mampu menerima kehadiran isme-isme lain, dan melihat peranan agama mereka dalam fungsi mengarahkan isme-isme itu bagi kebutuhan hakiki umat manusia, entah nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya.
Banyak sekali idealis muslimin yang melihat ideologi formal negara sebagai pengatur pergaulan politik, sedang Islam difungsikan, terutama, dalam pergaulan sosio-kultural. Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis.
Kalau demikian, mengapa hampir semua “idealis muslim” marah terhadap istilah di atas, atau terhadap anggapan masih adanya aspirasi mendirikan “negara Islam” dan sebagainya?
Karena mereka mengurung diri dalam benteng mental yang mereka dirikan. Semua penamaan “dari luar” lalu dianggap mengenai semua warga benteng, sebagai tuduhan serampangan dan prasangka buruk terhadap semua muslimin idealis yang berada dalam benteng. Simplikasi permasalahan adalah metode pemikiran mereka, sehingga pemberian nama apa pun yang dirasakan tidak simpatik dianggap ancaman.
Memang jauh implikasinya bagi masa depan perkembangan Islam. Tapi sebenarnya kita tidak usah pesimistis dengan sikap jiwa seperti itu. Mengapa? Karena itu akan berkurang dengan sendirinya, kalau proses pendewasaan telah memengaruhi cara berpikir.
Ini hukum alam. Berlaku, baik untuk muslimin maupun yang bukan.
nalarpolitik.com
Gus Dur: Mengapa Mereka Marah
Goenawan Mohamad, dalam cuitannya tertanggal 11 Juni 2018, menampilkan potret tulisan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Judulnya Mengapa Mereka Marah, terbit sebelumnya di koran Tempo, 20 Juni 1981.
Meski tulisan itu sudah berumur hampir 4 dekade, tetapi isi dan gagasannya masih sangat relevan, sebagaimana Goenawan Mohamad juga akui.
“Membaca kembali analisis Gus Dur yang masih relevan sampai hari ini.” ~ @gm_gm
Atas nama pengayaan wacana, terutama tentang “Islam politik” di Indonesia, Nalar Politik berupaya menghadirkannya kembali. Selengkapnya sebagai berikut:
"Mengapa Mereka Marah"
Seorang kawan menanyakan, mengapa banyak pemuka masyarakat Islam marah kalau mendengar sebutan “kaum fundamentalis”, atau tersinggung kalau ada orang membicarakan “isu negara Islam”.
Pertanyaan yang patut direnungkan. Karena ia menunjuk pada perkembangan sangat kompleks dalam kehidupan bermasyarakat kaum muslimin. Juga bersangkutan dengan kemelut identitas kultural muslimin di seluruh penjuru dunia, tidak hanya di negeri kita.
Pertanyaan kompleks sudah tentu tidak dapat dijawab sederhana. Membutuhkan renungan yang dalam, juga tidak kurang keberanian moral untuk melihat masalahnya dengan jernih. Dengan tidak hanyut oleh luapan marah, atau ketakutan yang disembunyikan rapat-rapat di balik kebanggaan akan peranan kesejarahan diri sendiri, atau kegairahan menudingkan jari terhadap kesalahan “pihak lain” dalam percaturan politik, kultural, dan keagamaan yang dihadapi.
Juga memerlukan kesanggupan untuk menelusuri mana wilayah kehidupan yang hakikatnya menjadi “agenda pemikiran” kaum muslimin, dan membedakannya dari agenda semu yang kini dijajakan sebagai pertanda kebangunan kembali Islam.
Pengagungan Diri
Kaum muslimin, di mana-mana, terbagi dalam dua kelompok utama. Pertama, mereka yang mengidealisasi Islam sebagai alternatif satu-satunya terhadap segala macam isme dan ideologi. Kedua, mereka yang menerima dunia ini “secara apa adanya”.
Pihak pertama menganggap Islam telah memiliki kelengkapan cukup untuk menjawab masalah-masalah utama umat manusia. Tinggal dilaksanakan ajarannya dengan tuntas, tak perlu lagi menimba dari yang lain. Karenanya, kalau dianggap perlu ada dialog dengan keyakinan, isme, atau ideologi lain, haruslah ia diselenggarakan dalam kerangka menunjukkan kelebihan Islam.
Seonggok “pembuktian” diajukan—umumnya dengan mengemukakan jawaban idealistis yang pernah dirumuskan Islam. Sudah tentu jawaban itu dilandaskan pada sejumlah pengandaian serba-idealistis pula: kalau saja umat manusia mau mengikuti ajaran Islam (padahal kenyataannya tidak), jika para pemimpin menggunakan moralitas Islam (padahal hanya satu-dua orang saja yang mampu), dan seterusnya.
Postulat-postulat formal Islam diajukan sebagai jawaban terhadap kemelut kehidupan masa modern: ayat-ayat Quran dan hadis Nabi sebagai tolok ukur lahiriah satu-satunya bagi “kadar keislaman” segala sesuatu yang dikerjakan.
Tidak heran kalau sikap kritis terhadap keadaan sendiri tidak dapat dikembangkan sepenuhnya—terhalang oleh “sudah sempurnanya” Islam sendiri. Lalu menjadi wajar juga kecenderungan untuk hanya mampu mengagungkan diri sendiri, yang memandang remeh perkembangan. Perkembangan apa pun di luar keasyikan kita dengan kehebatan Islam lalu tidak memiliki nilai yang tinggi.
Kalau perkembangan di luar tidak dapat diabaikan, dicarikanlah alasan untuk menghindarkan pemikiran mendalam atasnya: ini buah pikiran komunistis, itu ide sekuler, dan seterusnya. Semakin besar kenyataan di luar menghadang ufuk pandangan kita, semakin hebat upaya melarikan diri dari perwujudan konkretnya.
Kalau diajukan pemikiran untuk mencari jawaban konkret (bukan hanya idealistis) dengan jalan menghadapkan ajaran Islam pada kerangka berpikir baru yang bersumber pada isme, keyakinan, dan ideologi lain, maka cap kemurtadan, kekafiran, dan (lagi-lagi) sekuler dipakaikan pada usul itu sendiri.
Mental Banteng
Timbullah apa yang kemudian dinamai sejumlah pengamat sebagai “mental banteng”: Islam harus dipagari rapat-rapat dari kemungkinan penyusupan gagasan yang akan merusak kemurniannya. Tanpa disadari, mental seperti itu justru pengakuan terselubung akan kelemahan Islam.
Bukankah ketertutupan hanya membuktikan ketidakmampuan melestarikan keberadaan diri dalam keterbukaan? Bukankah isolasi justru menjadi petunjuk kelemahan dalam pergaulan?
Kalau kepada sikap jiwa seperti itu diajukan tuduhan oleh pihak luar akan adanya fundamentalisme, atau tentang masih adanya pemikiran mendirikan “negara Islam”, jelas rasa marah yang muncul sebagai reaksi.
Bukankah karena ketakutannya terhadap “pengaruh negatif” luar, ia lalu curiga terhadap semua pendapat “orang luar” tentang dirinya? Bukankah kepekaan adalah hasil dari sikap mengunci pintu seperti itu?
Padahal penamaan sebagai kaum fundamentalis tidak ditujukan kepada semua muslimin yang mengidealisasi Islam dan menempatkannya sebagai alternatif tunggal bagi semua isme, keyakinan, dan ideologi yang ada. Cukup besar jumlah idealis muslimin yang mampu menerima kehadiran isme-isme lain, dan melihat peranan agama mereka dalam fungsi mengarahkan isme-isme itu bagi kebutuhan hakiki umat manusia, entah nasionalisme, sosialisme, dan seterusnya.
Banyak sekali idealis muslimin yang melihat ideologi formal negara sebagai pengatur pergaulan politik, sedang Islam difungsikan, terutama, dalam pergaulan sosio-kultural. Jelas tidak semua kaum idealis muslimin fundamentalis.
Kalau demikian, mengapa hampir semua “idealis muslim” marah terhadap istilah di atas, atau terhadap anggapan masih adanya aspirasi mendirikan “negara Islam” dan sebagainya?
Karena mereka mengurung diri dalam benteng mental yang mereka dirikan. Semua penamaan “dari luar” lalu dianggap mengenai semua warga benteng, sebagai tuduhan serampangan dan prasangka buruk terhadap semua muslimin idealis yang berada dalam benteng. Simplikasi permasalahan adalah metode pemikiran mereka, sehingga pemberian nama apa pun yang dirasakan tidak simpatik dianggap ancaman.
Memang jauh implikasinya bagi masa depan perkembangan Islam. Tapi sebenarnya kita tidak usah pesimistis dengan sikap jiwa seperti itu. Mengapa? Karena itu akan berkurang dengan sendirinya, kalau proses pendewasaan telah memengaruhi cara berpikir.
Ini hukum alam. Berlaku, baik untuk muslimin maupun yang bukan.
nalarpolitik.com