Ja’far Bin Abi Thalib merupakan satu diantara lima sahabat Rasulullah SAW yang memiliki kemiripan wajah dengan Rasulullah. Namun diantara kelimanya Ja’far tercatat paling mirip dengan Rasulullah. Hingga diriwayatkan, jika dilihat dari belakang, sulit membedakan antara Ja’far dan Rasulullah. Tidak hanya tampilan fisik, karakter Ja’far juga mirip dengan Rasulullah.
Di riwayatkan dari Muhammad bin Usamah bin Zaib bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Ja’far, "Bentuk wajahmu serupa dengan wajahku, dan akhlakmu serupa dengan akhlakku karena kamu berasal dariku dan merupakan keturunanku."
Karena kemiripan akhlak dan karakternya inilah Ja’far bin Abi thalib mudah menerima Islam saat diterangkan dengan sahabat yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia tercatat menjadi orang ke-31 yang memeluk Islam.
Bagaimanakah perjalanan seorang Ja'far bin Abi Thalib dan apa sajakah pengaruh beliau dalam agama Islam?
Ja’far yang adalah sepupu Rasulullah ini langsung menyatakan keislamannya begitu mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah SWT. Putra Abu Thalib ini kemudian menyampaikan keislamannya kepada Asma bin Umais. Ja’far pun lalu mengajak istrinya untuk kemudian masuk Islam. Ia begitu yakin bahwa mengikuti ajaran Islam akan membawanya pada kebaikan dunia dan akhirat.
Kelembutan serta kecerdasan seorang Ja'far bin Abi Thalib berhasil mengantarkan istrinya Asma bin Umais ke jalan yang hidayah, hingga nanti disepanjang jalan hidupnya, keduanya bersama-sama mengarungi pahit manis sebagai seorang muslim yang bertakwa.
Meski kebahagiaan Islam telah menyelimuti hatinya, namun kebahagian kakak Ali Bin Abi Thalib ini belum utuh. Sebab sang ayah yang sangat dicintainya, Abu Thalib enggan mengikuti kebenaran yang dibawa keponakannya, Muhammad. Padahal Ia selalu dibarisan terdepan membela Rasulullah dari kedengkian kaum Quraisy. Hanya doalah yang bisa dipanjatkan Ja’far bin Abi Thalib agar ayah mau membuka hatinya menerima hidayah Islam.
Maka ketika Islam semakin menyebar di Kota Mekah kaum Quraisy semakin marah dan tidak terima. Mereka bersekongkol membuat banyak cara untuk menjatuhkan Islam serta melemahkan iman kaum Muslimin. Maka ketika Quraisy tidak bisa menghalangi dakwah Rasulullah lantaran mendapatkan pembelaan dari keluarga besarnya, mereka pun mulai melampiaskan amarah dengan menyiksa kaum miskin dan lemah.
Tapi siksaan demi siksaan yang diterima kaum muslimin justru membuat iman mereka semakin kokoh dan kebal. Demikia kejam siksaan kaum Quraisy terhadap kaum Muslimin, hingga keinginan melawan semakin besar, termasuk Ja’far Bin Abi Thalib. Ia begitu kesal dengan perlakuan kaumnya tapi Ia begitu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Rasulullah SAW melarang kaum Muslimin untuk melawan dan hanya meminta agar bersabar.
Ja'far Memimpin Hijrah ke Habasyah
Disaat kekejaman kaum Quraisy memuncak Rasulullah SAW meminta agar kaum muslimin hijrah ke negeri Habasyah, negeri yang dipimpin Raja Najashi, seorang Raja Nasrani yang adil dan tidak pernah berbuat dzalim.
Rasulullah memilih Ja'far Bin Abi Thalib memimpin kaum muslimin hijrah menyelamatkan akidahnya ke negeri Habasyah. Rasulullah SAW begitu mengenal Ja'far seperti mengenal dirinya sendiri. Ja'far diplih karena memiliki kecerdasan, keberanian sekaligus ketenangan semuanya itu semakin didukung karena Ia memiliki kemiripan dengan Rasulullah. Sehingga menjadi pelipur lara bagi kaum muslimin bila jauh dari nabi mereka.
Benar saja, di negeri Habasyah muslimin bisa hidup nyaman tanpa harus terganggu saat beribadah. Namun kabar hijrahnya 100 kaum muslimin ke negeri Habasyah membuat kaum musrik Quraisy makin tidak suka. Mereka tidak tenang, pengikut Rasulullah beribadah dengan nyaman disana. Mereka kemudian berencana untuk memulangkan kaum muslimin ke Mekkah. Mereka mengutus Amar Bin Ash, pemuda Quraisy yang dikenal paling piawai berdiplomasi dan dekat dengan Raja Najashi
Sambil membawa hadiah dari kaum Quraisy untuk dipersembahkan kepada Raja Habasyah, Amr Bin Ash begitu yakin raja akan mengembalikan kaum muslimin ke Mekah. Di hadapan Raja Najashi yang beragama Nasrani, Amr Bin Ash mulai bersilat lidah. Amar membujuk raja bahwa agama Islam yang dianut oleh penduduk Mekah yang hijrah ke Habasyah berbeda dengan Nasrani, bahkan agama yang dibawa Muhammad ini dituduh memandang buruk terhadap agama Nasrani.
Raja Habasyah yang begitu kokoh imannya pada Nasrani sangat marah. Namun Ia tidak langsung mengusir kaum muslimin. Di sinilah kebenaran hadist Nabi tentang keadilan Raja Najashi terbukti. Raja Nasrani yang shaleh ini tidak mau bertindak sebelum mendengar langsung dari kaum Muslimin yang tinggal di negerinya.
Lalu Ja’far maju menjelaskan tentang Islam mewakili umat Islam dan mengapa Ia datang ke negeri Habasyah. Dengan tutur kata yang amat baik serta jujur apa adanya pernyataan Ja’far justru mengundang simpati raja.
Bahkan Ja’far menjelaskan tentang ajaran Islam, tentang Maryam dan Al Masih yang dituturkan Al-Qur’an. Mendengar itu Raja Najashi bergetar hatinya tidak kuasa menahan haru. Apa yang disampaikan Ja’far dan ajaran Nasrani yang Ia yakini berasal dari satu sumber yang sama. Maka saat itu pula, Najashi menjamin keamanan kaum Muslimin di Habasyah.
Menurut beberapa sumber, Raja Najashi memeluk Islam, namun tetap merahasiakannya kepada rakyatnya. Tidak hanya itu, murid-murid Ja’far di Habsyah kemudian menyebarkan ajaran tauhid disana hingga Islam mulai tersebar di negeri Habasyah.
Di negeri hijrah pertamanya itu, Asma, istri Ja’far melahirkan putra pertama mereka dan diberi nama Abdullah. Sebuah nama yang menujukan keislaman seseorang sebagai hamba yang hanya mengabdi kepada Allah. Kelahiran putra Ja’far disambut bahagia oleh Najashi. Raja memberinya hadiah, sang raja pun menamainya dengan nama yang serupa dengan putra Ja’far.
Ja'far di Medan Pertempuran Melawan Tentara Romawi
Selama tujuh tahun di negeri Habasyah, Ja’far dan kaum muslimin begitu merindukan Rasulullah. Sebuah kabar datang membuat hati Ja’far hancur, Abu Thalib, sang ayah yang amat dicintainya wafat dalam keadaan tidak beriman.
Di lain pihak, kaum muslimin mendapatkan kemenangan gemilang pada perang Haibar, Jafar Bin Abi Thalib meninggalkan Habasyah menuju Madinah. Kedatangannya begitu membahagiakan Rasulullah, hingga Nabi sendiri tidak menyadari kebahagiaan yang dirasakannya apakah karena kemenangannya dalam perang Haibar, atau karena kedatangan Ja’far.
Belum begitu lama Ja’far tinggal di Madinah pada awal tahun 8 Hijriyah, Rasulullah menyiapkan pasukan tentara untuk memerangi tentara Romawi di Mut’ah. Rasulullah menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima.
Rasulullah bersabda, "Kalau Zaid terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jika ia terbunuh, maka yang menggantikannya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan jika Abdullah terbunuh, maka biarlah kaum muslimin memilih bagi mereka sendiri."
Kemudian Rasulullah memberikan bendera berwarna putih kepada Zaid bin Hartisah.
Berangkatlah pasukan ini. Ketika telah sampai di daerah Mu’tah sebuah kota dekat Syam daerah Yordania, mereka mendapati pasukan Romawi telah siap dengan jumlah sebanyak 200 ribu tentara yang terlatih. Diperkuat dengan 1000 milisi Nasrani dari kabilah-kabilah Arab. Jumlah sebegitu besar tidak pernah ditemui oleh kaum muslimin sebelumnya. Sementara tentara kaum muslimin yang dipimpin oleh Zait Bin Haritsah hanya berkekuatan 3000 tentara.
Begitu kedua pasukan yang tidak seimbang ini bertemu dan pertempuran dahsyat pun terjadi. Panglima Muslimin, Zaid Bin Haritsah gugur dalam pertempuran sebagai syuhada, melihat Zaid jatuh tersungkur, Ja’far kemudian bergegas melompat dan mengambil alih bendera Rasulullah dari tangan Zaid.
Lalu diacungkan dengan tinggi-tinggi dan kini pimpinan beralih kepadanya. Ja’far menyusup ke dalam barisan musuh seraya mengayunkan pedang ditengah musuh yang mengepungnya. Dia menyerang musuh yang datang dari kanan dan kiri dengan sekuat tenaga sambil melantunkan syair:
"Wahai… alangkah dekatnya surga
Yang sangat lezat dan dingin minumannya
Romawi yang telah dekat kehancurannya
Wajib bagiku menghancurkannya
apabila menemuinya..."
Hingga suatu ketika sebuah tebasan pedang mengenai tangan kanannya, maka tangan kirinya langsung mengambil bendera dari tangan kanannya yang tertebas pedang, tangan kirinya putus pula terkena sabetan pedang musuh. Tapi Ia tidak gentar dan putus asa, dipeluknya bendera Rasulullah dengan kedua lengannya dengan terus menerjang musuh hingga akhirnya tubuh Ja’far ditebas musuh hingga gugur sebagai syuhada di pertempuran Mut’ah itu.
Rasulullah sangat sedih mendengar kabar gugurnya Jafar, dan pergi ke rumah Ja’far di dapatinya Asma, istri Ja’far yang sedang bersiap-siap menunggu kedatangan suaminya, memandikan dan memakaikan baju bersih kepada anak-anaknya. Asma sendiri menuturkan kedatangan Rasulullah.
"Ketika Rasulullah mengujungi kami, terlihat wajah Rasulullah diselubungi kabut sedih, hatiku cemas tetapi aku tidak berani menanyakan apa yang terjadi, karena aku takut mendengar berita buruk, beliau memberi salam dan menanyakan anak-anak kami.”
Asma kemudian memanggil mereka semua, dan disuruhnya menemuii Rasulullah. Anak-anak Ja’far kemudian melompat kegirangan mengetahui kedatangan Beliau. Mereka berebutan untuk bersalaman dengan Rasulullah. Rasulullah langsung memeluk erat anak-anak Ja’far sambil menciumi mereka penuh haru. Air mata Rasulullah berlinang membasahi pipi mereka.*
sirah nabawiyah
Ja’far Bin Abi Thalib , Pria yang Mirip Rasulullah
"Wahai… alangkah dekatnya surga Yang sangat lezat dan dingin minumannya Romawi yang telah dekat kehancurannya Wajib bagiku menghancurkannya apabila menemuinya..."