Banyak kisah di balik kemuliaan seseorang yang meninggal dalam keadaan sujud. Banyak juga dari seorang hamba yang menginginkan akhir hayatnya dalam posisi sujud, menyembah dan mengagungkan Allah SWT.
Mengakhiri hayat dalam keadaan sujud kepada Allah merupakan salah satu wujud husnul khotimah. Biasanya orang-orang yang demikian ialah orang yang mengisi hidupnya dengan akhlak mulia, selain keikhlasan dalam beramal dan beribadah.
Berbicara tentang orang-orang mulia, tentu Nabi Muhammad SAW merupakan manusia yang paling mulia di sisi Allah, selain manusia sempurna karena dia merupakan satu-satunya manusia yang pernah bertemu dan berhadapan langsung dengan Allah SWT, Sang Penguasa Alam Semesta.
Kemuliaan tersebut berusaha Rasulullah hadirkan kepada segenap sahabat dan umatnya. Para sahabat Rasulullah merupakan orang-orang terdekat yang mendapatkan pancaran kemuliaan berupa nur (cahaya) Allah yang didapat Nabi Muhammad ketika melakukan Isra’ Mi’raj.
Dijelaskan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya Pekalongan dalam bukunya Secercah Tinta (2012), setelah Nabi Muhammad turun dari langit dan bertemu dengan para sahabat, orang yang mendapat barakah nur nazhar ilaa wajhil karim ialah mereka para sahabat.
Dengan dasar ini, para sahabat mendapat dua nur. Pertama, nur atsar min an-nazhar ila wajhil karim. Kedua, mendapatkan nur Rasulullah SAW sendiri setiap hari. Karena mereka duduk, ruku’, sujud, dan sebagainya bersama-sama dengan Rasulullah tiap harinya.
Allah SWT menyatakan dalam Firman-Nya:
سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
“...Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud...” (QS Al-Fath: 29)
Ayat di atas menjelaskan kemuliaan para sahabat Nabi SAW yang mendapat nur Allah sekaligus nur Rasulullah. Kemuliaan itu tampak pada muka mereka yang ikut bercahaya. Muka bercahaya itulah bekas sujud mereka. Bukan semata bekas sujud dalam artian tanda atau simbol di jidat.
Habib Luthfi dalam buku yang sama menyebutkan, yatala’la’u nuruhum min atsaris sujud, muka mereka (para sahabat) semakin bercahaya karena sujud mereka kepada Allah. Bukan karena jidat terus menempel pada tempat sujud.
Allah SWT memberikan nuruhum min atsaris sujud karena sikap tawadhu’ para sahabat, akhlak mulianya, tauhidnya, keyakinannya, ma’rifatnya, dan dari sujudnya. Bukan min atsaril karpet, bukan bekas karpet. Wallahu’alam bisshawab.
www.nu.or.id | Fathoni