Pasca kemerdekaan rakyat Indonesia diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, para pejuang dan masyarakat Indonesia tidak henti-hentinya mendapatkan rongrongan penjajah. Bahkan, rongrongan tersebut bukan hanya berasal dari Belanda dan sekutunya, tetapi juga datang dari bangsa Indonesia sendiri, yakni ketika PKI mengadakan pemberontakan di Madiun pada 1948, serta kelompok-kelompok lain seperti DI/TII, dan PRRI/Permesta.
Pemberontakan PKI tersebut meletus terhitung setahun setelah ayahanda KH Wahid Hasyim, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari meninggal dunia pada 1947. Wahid Hasyim sebagai salah seorang pemimpin pasukan santri, Hizbullah dan Sabilillah bersama KH Zainul Arifin dan KH Masjkur paham betul musuh yang saat ini ada di hadapan bangsa Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.
Apalagi PKI menyasar para kiai, santri, dan pesantren sebagai target kekejamannya ditambah Belanda yang terus berupaya mengadakan agresi militer pada tahun yang sama pada 1948. Persoalan cukup pelik dalam menjaga kemerdekaan ini dihadapi Wahid Hasyim dengan tetap mengonsolidasikan pasukan militer santri dan menemui beberapa tokoh pergerakan nasional seperti Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Kiai Wahid Hasyim mengajak koleganya KH Saifuddin Zuhri saat menemui Pak Dirman. Setelah tiba di kediaman Panglima Besar kelahiran Banyumas itu, Kiai Wahid mendapati sang panglima masih terbaring dalam kondisi sakit berat.
Diceritakan Kiai Saifuddin Zuhri (Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001), Kiai Wahid sendiri mempunyai perasaan segan sebab tidak ingin mengganggu istirahat Pak Dirman. Namun, dua kiai tersebut memang menyengajakan diri menengok Pak Dirman.
“Saya sakit, Mas Wahid,” lirih Pak Dirman sambil berbaring mengulurkan tangan kepada Kiai Wahid Hasyim.
“Semoga lekas sembuh,” sambut Kiai Wahid Hasyim dengan perasaan prihatin mengingat perjuangan rakyat semakin tidak mudah setelah merdeka dan Indonesia masih membutuhkan Pak Dirman.
“Apa kabar saudara?” giliran Kiai Saifuddin Zuhri mendapat sambutan Pak Dirman sambil saling bersalaman. Dua tokoh asal Banyumas ini seolah sedang temu kangen setelah berhari-hari menjalani perjuangan yang melelahkan demi bangsa dan negara.
“Apa sakitnya Mas Dirman?” tanya Kiai Wahid Hasyim setelah Pak Dirman menyambut Kiai Saifuddin Zuhri.
“Paru-paruku kata dokter tinggal satu yang berfungsi,” Pak Dirman menjawab sambil batuk-batuk. Seisi ruangan terdiam. Kiai Wahid merasa sangat terharu merasakan kondisi Panglima Besar yang sedang terbaring. Badan Pak Dirman bertambah kurus dan terlihat pucat karena kurang tidur.
"Sudah lama kita tidak saling ketemu. Apa masih memimpin Hizbullah?” tanya Pak Dirman kepada Kiai Wahid Hasyim.
“Pak Dirman kelewat sibuk, aku tidak sampai hati mengganggu Pak Dirman. Dan aku masih bersama anak-anak Hizbullah,” jawab ayah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
Di tengah obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim, dan kawan-kawan, Pak Dirman mengungkapkan kegelisahan terkait kemungkinan Belanda menyerbu ke Yogyakarta setelah Ibu Kota negara dipindahkan ke sana. Ia meminta tolong kepada Kiai Wahid untuk menyampaikan hal itu kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar tetap siaga selain melakukan langkah diplomasi.
Hal ini ditanggapi oleh Kiai Wahid Hasyim bahwa pasukan militer termasuk laskar santri sudah relatif jauh lebih baik. Jika pun terjadi pertempuran, menurut Kiai Wahid tidak masalah. Sebab Indonesia juga perlu menunjukkan kepada Belanda bahwa rakyat Indonesia mempunyai kekuatan militer dan semangat berperang.
Terkait pemberontakan PKI, bersama para laskar santri dan para kiai, Pak Dirman juga mengatakan bahwa dirinya sudah mengondisikan pasukannya untuk menumpas kekejaman PKI di Madiun. Pak Dirman menegaskan, PKI ini bagaikan menusuk belati dari belakang punggung saudara sendiri. Padahal bangsa Indonesia masih harus berjuang menghadapi Belanda.
Selang dua tahun setelah pertemuan dengan Kiai Wahid Hasyim tersebut, Panglima Besar Soedirman meninggal dunia. Pak Dirman yang lekat dengan penutup kepala berupa blangkon dan kopiah hitam ini meninggal di Magelang pada 29 Januari 1950. Daerah meninggalnya Pak Dirman tersebut saat ini dijadikan tempat pendidikan militer yakni Akademi Militer di Magelang.
Kiai Wahid Hasyim sendiri meninggal tiga tahun setelah Pak Dirman mangkat. Kedua jenderal pergerakan nasional ini sama-sama meninggal dalam usia yang relatif muda, Pak Dirman wafat di usia 34 tahun, sedangkan Kiai Wahid meninggal pada usia 39 tahun. Tetapi perjuangan, pemikiran, dan jasa keduanya mampu menggerakkan para pemuda untuk berjuang mencapai kemerdekaan.
www.nu.or.id | Fathoni
sejarah
Saat KH Wahid Hasyim Bertanya Penyakit Jenderal Soedirman
Di tengah obrolan dengan Kiai Wahid Hasyim, dan kawan-kawan, Pak Dirman mengungkapkan kegelisahan terkait kemungkinan Belanda menyerbu ke Yogyakarta setelah Ibu Kota negara dipindahkan ke sana. Ia meminta tolong kepada Kiai Wahid untuk menyampaikan hal itu kepada Bung Karno dan Bung Hatta agar tetap siaga selain melakukan langkah diplomasi.