Hari ini, 7 Ramadhan 1439 Hijriyah bertepatan dengan 73 tahun meninggalnya Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, yang meninggal dunia pada 7 ramadhan 1366 Hiriyah (21 Juli 1947 Masehi).
Hadhratus Syaikh Muhammad Hasyim Asy’ari atau yang akrab disebut Mbah Hasyim adalah seorang tokoh dan ulama besar di abad ke-19 hingga abad ke-20. Tentu, kisah-kisahnya dalam narasi syiar Islam di Nusantara dan perjuangannya di republik ini tidak perlu diragukan lagi.
Organisasi Massa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang sebagai kiblat pesantren di Indonesia maupun internasional adalah buah tangan dinginnya.
Mbah Hasyim dikenal sebagai sosok yang nasionalis dan berilmu luas terlebih ilmu agama. Hal ini tidak terlepas dari proses pendidikannya, yang sejak kecil telah dididik di dalam dunia pesantren dan di sejumlah pesantren legendaris, seperti Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo,
Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil). Bahkan pencarian ilmunya tidak hanya di Nusantara, melainkan hingga ke mancanegara seperti Timur-Tengah.
Dalam narasi sejarah bangsa kita, pesantren bukan sekedar tempat menempah kedalaman ilmu agama. Melainkan sebagai ruang bercokolnya nasionalisme dan perlawanan terhadap kolonialisme.
Diketahui pada abad ke-17 pascakekuasaan Kerajaan Mataram, pesantren berkembang lepas dari kontrol kekuasaan kerajaan. Notabene, penguasa kolonial tidak punya ruang untuk mengontrol perkembangan pesantren.
Sehingga pesantren berkembang sebagai basis munculnya corak keislaman masyarakat pedesaan, dan ulama atau kiai tampil sebagai “perantara budaya” untuk melakukan transmisi ajaran-ajaran Islam ke dalam ruang lingkup kehidupan masyakarat lokal di pedesaan.
Maka, dalam perkembangannya pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, melainkan juga tampil sebagai eksekutor proses islamisasi di pedalaman Jawa, yang mampu membentuk watak keislaman yang dikenal sangat lekat dengan kehidupan pedesaan yang tradisional.
Bahkan, dari sinilah para kiai tampil sebagi aktor penting dalam perlawanan melawan kekuatan kolonial (Abdul Hadi W. M. dkk., 2015:215). Sehingga bukan hal yang aneh, jika pesantren, ulama, dan santri bertalian erat dengan nasioanalisme bangsa Indonesia.
Salah satu bukti konkritnya yaitu pada abad ke-20 perjuangan ulama dan santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, adalah melalui Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Mbah Hasyim, sebagai tonggak pergerakan ulama dan santri pascakemerdekaan.
Resolusi Jihad ditandatangani oleh Mbah Hasyim pada 17 September 1945 yang kemudian di kukuhkan dalam rapat para kiai tanggal 21-22 Oktober 1945. Resolusi Jihad adalah upaya dorongan kepada pemerintah agar segera menentukan sikap dalam melawan kekuatan sekutu dan Belanda yang berusaha mengurungkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Tidak hanya bertujuan mendesak pemerintah, melainkan melakukan upaya sacara fisik yakni perlawanan bersenjata yang dipelopori oleh Laskar Hizbullah, laskar ini melibatkan para kiai dan santri. Laskar Hizbullah merupakan muara dari perlawanan ulama dan santri melawan kolonialisme penjajah yang kemudian terealisasi pada masa pendudukan Jepang.
Laskar Hizbullah merupakan kesatuan bersenjata yang solid dan sigap, meskipun hanya sebatas organisasi semi militer. Laskar Hizbullah mendapat dukukungan penuh dari jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan konsolidasi dan jalur komando yang begitu masif hingga ke pedesaan (Zainul Milal Bizawie, 2016:26-27).
Walaupun menurut anggaran dasarnya, Laskar Hizbullah hanya sebagai korps cadangan PETA dalam melawan sekutu. Tetapi pada kenyataanya, Laskar Hizbullah tidak banyak bekerja sama dengan PETA, Laskar Hizbullah dan PETA bergerak sendiri-sendiri (Cornelis van Dijk, 1983: 63).
Resolusi Jihad merupakan sumbu dari peristiwa pertempuran 10 November 1945, Surabaya menjadi melthing pot Laskar Hizbullah dari berbagai daerah untuk melawan sekutu.
Resolusi Jihad tidak hanya membahana di Surabaya, melainkan diberbagai kota bahkan mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palangan Ambarawa. Resolusi Jihad sebagai momentum bersejarah yang mampu mencetak sejarah besar lainnya.
Resolusi Jihad menjadi titik puncak perlawanan yang tidak pernah berhenti dinyalakan oleh ulama dan santri. Tidak hanya tempat menimbah ilmu agama, Pesantren sebagai tempat berseminya cinta tanah air dan jihad fisabilillah, karena rasa kebangsaan tidak terlepas dari sisi religiusitas dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara (Zainul Milal Bizawie, 2016:28-29).
kumparan.com
sejarah, tokoh
Mengenang Kepergian Kiai Hasyim Asy’ari, Hari Ini
Resolusi Jihad ditandatangani oleh Mbah Hasyim pada 17 September 1945 yang kemudian di kukuhkan dalam rapat para kiai tanggal 21-22 Oktober 1945. Resolusi Jihad adalah upaya dorongan kepada pemerintah agar segera menentukan sikap dalam melawan kekuatan sekutu dan Belanda yang berusaha mengurungkan kemerdekaan Republik Indonesia.