Nadirsyah: Politik Kebangsaan NU Jangan Mengerucut Pada Pencalonan

Rais Syuriyah PCINU Australia dan New Zealand menjelaskan bahwa perpolitikan yang dimainkan oleh PBNU adalah politik kebangsaan.

Nadirsyah: Politik Kebangsaan NU Jangan Mengerucut Pada Pencalonan
Politik kebangsaan yang dimaksud berupa rumusan tantangan Indonesia khususnya lima tahun ke depan dan langkah strategis untuk menghadapi tantangan tersebut.

Politik kebangsaan yang demikian, oleh Nadirsyah dianggap lebih utama daripada terjebak memperjuangkan nama-nama tertentu untuk didorong dalam perebutan kekuasaan selama Pilpres 2019.

“PBNU bisa berperan menyalurkan aspirasi para ulama, kandidat atau tokoh-tokoh nasional dengan cara merumuskan tantangan Indonesia lima tahun mendatang dan apa sebaiknya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang nanti akan memimpin Indonesia,” kata Nadirsyah Hosen, Selasa (7/8).

Oleh karenanya, PBNU mesti membuka pintu seluas-luasnya untuk menerima aspirasi, baik dari kalangan kiai NU sendiri, para kandidat, atau tokoh-tokoh nasional lain yang memiliki kesamaan visi untuk kepentingan bangsa.

Namun dosen senior Monash Law School Australia ini juga mengingatkan agar politik kebangsaan PBNU tidak dikerucutkan pada dukungan terhadap perorangan. Reduksi semacam ini justru merugikan PBNU sebagai sebuah organisasi besar.

“Kalau kemudian peranan PBNU hanya direduksi menjadi broker politik, atau calo politik, atau lebih parah lagi ikut-ikutan berpolitik, tentu ini tidak kita kehendaki dan bisa bertentangan dengan khittoh 1926. Dan saya tidak melihat itu sedang terjadi saat ini.

Saya masih berkhusnudon bahwa tokoh-tokoh di PBNU mengenal betul dan mengetahui tentang hittoh 1926, dan bisa membaca dengan obyektif perkembangan politik saat ini,” jelasnya.


*


Keberpihakan Pribadi dan Organisasi Harus Dipisahkan


Nadirsyah Hosen juga mengingatkan agar PBNU berhati-hati pada bahaya klaim politik terutama dalam momentum jelang pemilihan Presiden 2019. Ia menyebutkan dukungan perorangan mudah ‘dikalimkan’ atau dipolitisir seperti dukungan organisasi. 

“Bisa saja ada simpang siur berita, misalnya bahwa ulama A mengklaim mendukung tokoh B dan lalu dipahami oleh media, maupun oleh rakyat sebagai dukungan dari organisasi PBNU,” ujar Nadirsyah.

Maka dari itu, ia meminta agar individu dalam organisasi PBNU memperjelas keberpihakan pada kelompok politik tertentu sebagai keberpihakan secara individu. 

“Nah karena itu, batas antara mana keberpihakan pribadi dengan kebiakan organisasi yang memainkan peranan politik kebangsaan itu harus diperjelas,” katanya.

Kendati demikian, dosen senior di Monash Univeristy ini meyakini bahwa sikap pengurus PBNU jauh dari politik praktis yang pragmatis dan tetap mengedepankan nilai khittah 1926.

Dan saya masih percaya bahwa para ulama kita di PBNU dengan bimbingan para kiai sepuh, para mustasyar para penasehat, maupun dengan petunjuk dari ilahi akan bisa menjaga dan merawat negara ini, bangsa ini, umat ini dan juga khittah 1926. 

www.nu.or.id | Ahmad Rozali