Mengenal NU Secara Kaffah

Yang dielu-elukan Zakir Naik, yang dipuji Raja Salman dan yang mereka idolakan Erdogan seraya meneriakkan khilafah syariah sebagai pekikan.

Mengenal NU Secara Kaffah
Dunia ini seringkali jadi aneh karena dipenuhi manusia yang aneh aneh. Namun keanehan memang sengaja diciptakan agar jadi i’tibar bagi manusia yang cerdas utk merawat jiwa ulul albab serta kecerdasannya. 

Maka wajar jika beri’tibar pada keanehan dunia itu tidak mungkin dilakukan oleh kalangan ‘bersumbu pendek’ maupun mereka yang hanya tahu bahwa ‘bumi itu datar’. Faham kan?

Yang dielu-elukan Zakir Naik, yang dipuji Raja Salman dan yang mereka idolakan Erdogan seraya meneriakkan khilafah syariah sebagai pekikan. Manakala para kiai yang selama ini menjaga NKRI malah dihujat, pemimpin sah digugat, dan sistem politik negeri yang maslahat ini dianggap thogut dan khurafat. Memang selama ini mereka hidup dan makan dimana? Aneh kan?

Di dunia barat, Islam Nusantara yang damai ini mulai dikaji karena dianggap sebagai solusi. Di negara-negara Islam yang dilanda kebengisan dan karut marut perang, Islam toleran ala NU ini diimpikan dan dijadikan harapan. Lha kok disini malah diserang dan dienyahkan untuk diganti dengan sistem yang penuh kemafsadahan dimana agama dan politik saling berkelindan?
Aneh lagi bukan? Pun ..

Begitu cintanya mereka pada label agama, maka apapun yang berlabel syariah, syar’i dan Islam dianggap halal. Manakala yang tidak berlabel Islam dianggap haram. Dari bank syariah, hijab syar’i, hingga fitnah, caci maki dan ucapan laknat pun dilakukan. Asal yang melakukan orang berjubah dengan bumbu dalil Qurani maka dianggap halal. Emang minyak babi cap unta dihalalkan oleh Islam?

Ada lagi yang bilang …
“Jangan meng-NU-kan Aswaja, tapi Aswajakan lah NU”. Bagi saya statemen ini juga aneh yg keluar dari orang yang tidak ngerti NU dan sanad keilmuannya gak nyambung ke kiai NU. Jangankan manhaj pemikiran NU, mereka tahu mbah Hasyim Asy’ari aja mungkin dari kalam “Jare” alias jarang benere. Lantas pantaskah mereka mengklaim mewakili NU-nya mbah Hasyim?

Hingga akhirnya, NU dan para Kiai NU yang sudah ‘muttafaq alaih’ ilmu dan sanadnya itu pun dianggap ‘ittifaq ala al kadzib’; bengkok semua sehingga harus diluruskan; begitu menurut mereka. Emang NU itu bergaris bongsor sehingga butuh NU garis lurus? Aneh kan?

Orang Islam kagetan yang hanya tau bahwa ‘bumi itu datar’ memang perlu diberi pelajaran. Nada sumbang mereka pada NU dan kiai NU itu perlu dibungkam agar tidak membuat Islam Indonesia yang toleran ini tercemar akibat ulah mereka yang penuh kenaifan.
Jangan hanya karena mereka menguasai media sehingga semua ucapan mereka patut untuk dibenarkan. Meniru ujaran kebencian mereka pun dianggap pahala dan fitnah keji yang mereka lakukan pun dianggap jalan menuju surga. Apa begitu Islam mengajarkan?

Inilah momen mengapa #IstighosahKubro perlu dilakukan dengan komando para kiai untuk memberi i’tibar dan pelajaran bagi mereka yang kini pongah karena jadi sorotan. Seakan merekalah yang berhak menentukan opini tentang Islam dan arah negeri ini ke depan.

Ingat kawan-kawan ...
Kiai-kiai NU juga bukanlah ulama karbitan yang dihasilkan dari audisi media seperti mereka. Tapi kiai NU adalah ulama panutan yang lahir dari rahim masyarakat yang dengan kealiman dan kemakrifatan mereka pada umat, selalu menjaga iman umat dari berbagai rongrongan. Mereka membela umat, bukan malah minta dibela umat. Mereka memberdayakan masyarakat agar tetap pada trek akhlak dan syariat, bukan malah memperdaya umat untuk kepentingan dan kekuasaan sesaat. Itulah ujaran dan ajaran kiai-kiai panutan kami yang telah disampaikan.

NU juga bukanlah organisasi instan yang menjadi besar karena pencitraan. Sebab NU adalah organisasi akar rumput yang menjadi besar karena perjuangan para kiai dan santri yang penuh keikhlasan. Komitmen mereka untuk mengawal NKRI dan masyarakat adalah spirit perjuangan. Dan moralitas Islam serta ketulusan adalah pilar yang menjadi kekuatan.

Mereka menjaga NKRI bukan malah menghancurkan. Beliau-beliau itu merawat Pancasila dan kebhinekaan, bukan malah meruntuhkan. Karena disitulah nilai Islam dan kemaslahatan umat Islam terpupuk dan tertanam.

Apa kami memekikkan Allah Akbar sambil mengibarkan panji ketuhanan? Apalagi mencari simpati masyarakat dengan shalat di jalanan agar tercapai segala kepentingan?

Tidak! Kami hanya ingin mengetuk pintu langit dengan lantunan doa. Karena, NKRI lah yg harus dibela sebagaimana Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari mengajarkan, bukan simbol Islam, apalagi Tuhan yang jelas-jelas sudah Maha Kuasa dan Perkasa tanpa perlu pembelaan kita dengan cara yang seperti itu.

Apakah kami mengemis uang transport apalagi memelas nasi bungkusan? Atau apakah kami mengais dana kepada mereka yang sama kepentingan agar sukses dalam melakukan makar?
Tidak! kiai kami mengajarkan bahwa perjuangan demi NKRI itu membutuhkan mujahadah dan keikhlasan. Agar bambu runcing yang sederhana mampu mengalahkan todongan bayonet dan dentuman meriam.

Kami pun beristighosah tanpa perlu simbol agama dan slogan angka. Karena kami diajari oleh para kiai kami bahwa Tuhan tdk butuh slogan apalagi angka togel keberuntungan. Karena yang dilihat Allah adalah hati kami, bukan penampilan.
Walau mungkin kami berselfie, maklumlah sebab kami santri NU yang masih awam. Asal yang suka selfie bukan kiai dan ulama kami untuk pencitraan. Karena pemimpin yang ikhlas adalah kekuatan yang takkan terkalahkan.

Maka momen ini hakikatnya bukan sekedar untuk menyampaikan ajaran moral. Tapi juga ujaran kebaikan untuk menjaga negeri ini agar tetap dalam koridor kemaslahatan. Sehingga jika kami dituduh unjuk kekuatan, biarlah hal itu menjadi ucapan.

Bukan jumawa, bukan pula menandingi. Tapi orang takabur yang merasa tinggi hati karena mereka merasa mampu memonopoli opini (agama) dan mengkooptasi (kekuasaan) itu perlu juga untuk ditakabburi oleh kita yang ada disini dengan niat untuk “wa tawashou bil haqqi”, sebagaimana nabi Musa juga perlu menyombongi Bani Ngisroil yang sombong dan dipenuh kepongahan.

Buktinya, mereka disana besar dan bergerak karena adanya dana miliaran. Manakala di sini kami bergerak dengan spirit ngibadah dan khidmah kepada NU dan kiai panutan meski harus urunan. Banggalah jadi warga NU dan santri Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari. 
Salam istighosahan kawan! (*)

H Abu Yazid, Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) NU Kabupaten Malang