Ber-Islam yang Santun, Melawan Wacana Radikalisme

Sejatinya, tidak bisa dipungkiri Islam adalah oasis kedamaian, yang melahirkan titik sumbu inspirasi iklim kehidupan ber-santun dan ber-damai. Hanya saja, kadang manusia memiliki cara berbeda menafsirkan teks al-Qur’an hatta menghasilkan produk agama yang “warna-warni.” Ketidakseragaman dalam menafsirkan agama—pelan tapi pasti, membuat Islam menjadi agama yang parasit sekaligus prematur.

Ber-Islam yang Santun, Melawan Wacana Radikalisme
Sebagai umat muslim, membicarakan agama Islam, seperti membincangkan sesuatu yang kompleks; menyeruak tentang seluk-beluk kehidupan sampai pada dimensi yang tak terbatas. Semua bisa dibicarakan, setahap demi setahap, selangkah demi selangkah, terus bertumpu melalui agama yang salim. Agama yang universal, agama yang relevan beriring kencangnya pertumbuhan zaman yang menurut Anthony Gidden dunia yang berlari tunggang langgang.

Mulai sejak awal Islam turun dengan visi-misi yang jelas, sebagaimana disinyalir oleh Dr. Yusuf al-Qardhawi bahwa, agama seharusnya membuka ruang tafsir yang moderat ketika berbicara relasi sesama manusia (social of relationship). Bukankah agama mengajarkan sikap santun pada orang lain, menghormati sesama, tolong-menolong, sabar, penuh belas kasihan dan yang lainya. Kemudian, kenapa kita menemukan kasus kekerasan atas nama agama masih bergeliat? Ketika sebagian memandang agama mulai suram akibat maraknya kekerasan, baik intoleransi agama, persekusi, konflik ras atau suku yang akhir-akhir ini mengecambah.

Sejatinya, tidak bisa dipungkiri Islam adalah oasis kedamaian, yang melahirkan titik sumbu inspirasi iklim kehidupan ber-santun dan ber-damai. Hanya saja, kadang manusia memiliki cara berbeda menafsirkan teks al-Qur’an hatta menghasilkan produk agama yang “warna-warni.” Ketidakseragaman dalam menafsirkan agama—pelan tapi pasti, membuat Islam menjadi agama yang parasit sekaligus prematur.

Seiring berjalannya peradaban, orang semakin buta memahami Islam secara kaffa atau menyeluruh. Islam mulai digerogoti sebagai agama yang tidak memiliki nilai sosialisme dan humanisme, itu tercermin ketika gemuruh publik menembaki sisi agama Islam dari dimensi sosial yang tidak manusiawi; seperti pembunuhan, bom bunuh diri, terorisme, penutupan tempat-tempat ibadah, serta paham-paham agama yang fundamentalisme-radikal, sayap kanan dan kiri, serta agama ekstremis bergeliat memicu konflik antarumat beragama. Model pemahaman agama tersebut adalah awal untuk memancing munculnya kekerasan; menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan yang paling riskan.

Muhammad Ali Akhuli dalam bukunya, The Need for Islam, menjelaskan secara fleksibel, tentang penekanan aspek-aspek moralitas dan etika bers-Islam yang santun, karena puncak kebahagiaan manusia menurutnya, membutuhkan aspek moralitas tersebut. Bahkan aturan-aturan dasar etika berperang dalam Islam mengacu pada al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Secara terperinci Islam tidak menghendaki kaum muslim berperang secara licik dan mendadak. Senantiasa, Islam harus mengedepankan kemaslahatan umat (Tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil mashlahah), merujuk pada kaidah ushul fiqih, “dar’ul mafasid muqaddamun ala jalbil mashalih”, dengan maksud menolak kerusakan lebih didahulukan dari pada mendatangkan kebaikan.

Banyak aspek moralitas yang diajarkan secara par-excelence tampil dalam rangkaian nilai-nilai humanisme yang terselubung. Maka upaya untuk menolak paham agama yang ektremis-radikal, perlu dihidupkan dengan wacana “Ber-Islam yang santun”. Islam yang lebih mengedepankan aspek moralitas dan Islam yang lebih mengedepankan kepentingan kemaslahatan ummat; bersifat tolong menolong, belaskasihan dan kasih sayang, sebagaimana yang direpresentasikan al-Ghazali, dalam kitab etika religius Ihya’ Ulum al-Din (Revival of the Reiligious Science), dengan tasawuf khuluqi–amali, tasawuf yang aksentuasinya lebih pada tata cara dan mekanisme penyucian hati, hidup sederhana, dan pembinaan moral.

Wajah Islam yang Santun

Mengacu pada etika tradisionalisme al-Hasan al-Basri (w. 728), membagi secara gradasi moral terdiri dari sembilan bagian; (i) laporan atau ucapan yang benar, (ii) kesetiaan dalam ketaatan terhadap Tuhan, (iii) bersikap dermawan, (iv) membalas perbuatan yang baik, (v) menegakkan kebenaran, (vi) solidaritas terhadap kawan, (vii) ramah tamah, (viii) rendah hati, (ix) dan baik hati terhadap tetangga. Dari sembilan unsur etika tradisionalisme yang sudah direpresentasikan oleh Hasan al-Basri cukup untuk menggambarkan secara tepat wajah Islam yang santun dan lembut.

Menilik dari wajah Islam yang lembut, hakikat manusia berada dalam khazanah kehidupan yang tentram; sebagai cerminan agama yang penuh simpati perdaimaian. Sebab itulah, Nurcholish Madjid (2007) dalam bukunya Islam Univesal, mendambakan agama kebahagiaan bagi semua manusia, tanpa terkecuali, tanpa membeda-bedakan tinggi rendahnya manusia di muka bumi.

Sikap santun tersebut, dipertegas dalam al-Qur’an surat al-Qhasash, ayat 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Berjejak dari ayat yang disebutkan di atas, jika manusia mau memahami sikap santun lebih dalam, maka lihatlah pada sifat-sifat Tuhan yang berjumlah 99, salah satunya Allah Maha Pemurah. Konsep bahwa Allah Maha Pemurah sangat penting dalam kehidupan ber-Islam. Kemahamurahan Tuhan mempengaruhi kaum muslimin ketika melakukan hubungan sosial dan yang lainnya. Jika Allah memiliki sifat Pemurah, secara logika, manusia juga menunjukkan rasa kemurahannya kepada sesama makhluk Allah. Sikap murah hati di dalam Islam memberikan sentuhan rasa aman dan tentram, sehingga terciptalah kehidupan yang santun dalam bermasyarakat. Jika manusia memiliki kemurahan dengan cara mereka masing-masing maka kehidupan di dunia akan damai.

Berangkat dari terminologi ber-Islam yang santun, tidak bisa mengelak kembali pembuktian nilai-nilai “humanisme” untuk merangkul semua lapisan masyarakat. Karena manusia percaya bahwa, agama didesain oleh yang Mahasuci. Sifat itu merupakan transformasi dari sifat-sifat Allah ke dalam diri manusia untuk semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia juga terpancar dalam diri manusia dan alam semesta. Sangat disayangkan, jika nilai kesantunan yang dimiliki sifat Tuhan hanya dikerjakan oleh sepihak atau minoritas muslim.

Ketika  penulis tarik kesimpulannya, kita telah mengatakan dengan tepat bahwa, Islam yang santun bukan sekadar wacana mati tapi harus dipraktekkan dalam bentuk kehidupan sosial yang nyata (real world). Wallahua’lam….

bangkitmedia.com | Jamalul Muttaqin, Penulis Essai asal Sumenep. Tinggal di Pesantren Ali Maksum, Krapyak Yogyakarta.