,

Perangkap Provokasi di Balik Bendera HTI

Mencermati kasus pembakaran bendera HTI yang memancing kontroversi hingga menyudutkan Ansor di media sosial, mengingatkan saya pada provokasi yang dilakukan oleh PKI dalam peristiwa Muncar, Banyuwangi tahun 1965.

Perangkap Provokasi di Balik Bendera HTI
Disebutkan oleh Agus Sunyoto  dalam salah satu artikelnya dan Abdul Mun'im DZ dalam buku Benturan NU-PKI (2013), pada tanggal 18 Oktober 1965, Ansor Muncar diundang pengajian ke Kecamatan Gambiran di desa Karangasem, Banyuwangi. Dengan semangat yang menggelora ratusan Anshor Muncar mendatangi undangan pengajian tersebut dengan mengendarai truk.

Sampai di tempat pengajian, rombongan dijamu makanan oleh panitia yang ternyata para pemuda rakyat yang menyamar menjadi anggota Banser dan beberapa Gerwani yang menyamar menjadi Fatayat NU. Tanpa rasa curiga dan prasangka para anggota Ansor Muncar menikmati suguhan dari panitia.

Ternyata makanan yang disuguhkan tersebut telah diberi racun oleh PKI. Akibatnya, tidak berselang lama, para pemuda Ansor mengalami muntah-muntah dan lemas setelah makan sajian yang telah diberi racun. Para anggota Ansor yang sudah  dalam kondisi lemas dan tak berdaya  karena diracun akhirnya dibantai oleh PKI secara sadis.

Menurut catatan saksi mata dan bukti mayat yang ada, pada peristiwa itu 93 orang aggota Ansor dan Banser menjadi korban pembantaian. Mayat mereka dimasukkan dalam satu lubang yang sudah dipersiapkan.

Suasana politik saat itu memang menegangkan. Benturan ideologi antara Komunis dan Islam begitu tajam. Saling provokasi terjadi antar-kelompok sehingga menimbulkan gesekan sosial level akar rumput.

Tuntutan pembubaran PKI oleh beberapa kelompok masyarakat karena dianggap telah berkhianat pada NKRI dan Pancasila membuat PKI semakin terpojok dan kalap sehingga di beberapa daerah basis berusaha melakukan perlawanan melalui provokasi untuk memancing lawan dan menyolidkan anggota.

Nasib HTI di Indonesia saat ini mirip dengan PKI. Setelah dibubarkan mereka berusaha melakukan perlawanan dengan segala cara. Mereka melakukan kampanye berselubung dengan membonceng setiap kegiatan keagamaan, mulai khutbah di masjid-masjid, ceramah para dai sampai aksi jalanan. Selain itu berbagai intrik dan provokasi mereka lakukan untuk menjebak lawan agar bisa dilemahkan sambil menarik simpati massa.

Kasus Ustadz Abdul Somad (UAS) adalah contoh nyata dari provokasi HTI untuk memancing keributan. Di setiap ceramah UAS, HTI selalu tampil membonceng dengan memasang atribut dan mengerahkan massa. Ketika provokasi tersebut dihadang dan dihentikan oleh Banser maka dengan cerdik HTI memutar balik fakta sambil bersembunyi di balik simbol agama.

Mereka menggoreng isu seolah Banser melakukan pembubaran pengajian, persekusi ulama, dan sejenisnya. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Banser menghentikan manuver HTI, sebagai organisasi terlarang,  yang membonceng kegiatan keagamaan UAS.

Dengan cara seperti ini HTI berhasil  memangguk simpati dari orang-orang yang berpikir simbolik. Tidah hanya itu, dengan memggunakan simbol dan topeng agama HTI bisa mengelabuhi massa hingga timbul asumsi bahwa HTI adalah Islam, melawan HTI adalah melawan Islam.

Akibatnya lawan-lawan politik HTI akan di-bully dan diragukan keislamannya bahkan dianggap sebagai pemecah belah umat. Sebagaimana yang dialami oleh Banser NU. Dengan cara ini HTI bebas menjajakan ideologi khilafah yang merongrong ideologi negara meski secara organisatoris telah dibubarkan.

Insiden pembakaran bendera HTI di Garut sulit dipisahkan dengan skenario ini. Berdasar kronologi yang dibuat panitia, tampak jelas adanya upaya menjebak jamaah NU, khususnya Banser unt masuk dalam perangkap HTI melalui tindakan yang provokatif.

Munculnya seseorang mengibarkan bendera HTI jelas merupakan skenaario untuk memancing kerusuhan dan emosi massa NU. Karena situasi lapangan yang sudah memanas beberapa orang Banser terpancing dan masuk dalam  perangkap ini ketika melakukan pembakaran terhadap bendera HTI

Tindakan spontan beberapa anggota Banser tersebut segera digoreng dengan bumbu provokatif bernuansa agama hingga menarik emosi massa. Sebagaimana PKI menjebak Ansor dalam peristiwa Banyuwangi dengan pengajian hingga kemudian dibantai dengan racun, dalam kasus Garut, Ansor dijebak dengan provokasi menggunakan bendera HTI, hingga akhirnnya masuk dalam perangkap dan menjadi obyek "pembantaian" di medsos.

Terlepas siapa yang melakukan provokasi, dari kasus ini kita bisa melihat betapa hebatnya bahaya laten HTI karena bisa digunakan untuk adu domba memecah belah bangsa dan melemahkan ideologi negara. 

Dalam situasi politik yang penuh ketegangan seperti saat ini, provokasi atas nama agama  akan terus terjadi karena ini cara yang paling mudah dan murah untuk menggerakkan massa. Dan gerakan ini akan semakin sulit ditanggulangi karena menggunakan simbol dan klaim agama.

Jika aparat tidak bertindak tegas pada para aktivis ormas terlarang sebagaimana tindakan tegas terhadap PKI, maka provokasi massa seperti ini akan terus terjadi.

Dalam kondisi seperti ini perlu sikap hati-hati, waspada dan arif dalam merespon tindakan provokatif. Ada baiknya Ansor dan Banser belajar dari kejadian masa lalu dalam menghadapi intrik dan provokasi lawan. Apalagi provokasi yang menggunakan simbol agama seperti yang terjadi dalam peristiwa Garut. 

www.nu.or.id | Zastrouw Al-Ngatawi, Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta