,

Jadilah Orang Nusantara

Bung Karno sama sekali tidak menolak agama, karena ia adalah orang yang beragama. Namun seorang yang beragama, dengan berwawasan kebangsaan yang luas, yang menumbuhkan peri-kemanusiaan antar bangsa, dan kasih sayang dengan semua mahluk. Ajaran agama, ketauhidannya bila didalam islam yang harus kita tempuh kita patuhi, dan jangan membebek saja dengan kebudayaan bangsa lain sehingga kita adalah bangsa yang tidak mempunyai jati diri.

Jadilah Orang Nusantara
Sejatinya ini ucapan Presiden pertama Indonesia, Bung Karno, yang lebih lengkapnya seperti ini “Kalau jadi hindu jangan jadi orang India, kalau jadi orang islam jangan jadi orang Arab, kalau kristen jangan jadi orang yahudi, tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini”. Akhir-akhir ini menjadi pembahasan yang hangat baik dikalangan media massa ataupun didunia maya, dan terkhusus netizen sendiri. 

Sekilas orang mendengarnya, langsung berpandangan apakah Bung Karno orang yang anti arab? Timbul banyak dugaan-dugaan, dan ujung-ujungnya fitnah kepada Bapak Bangsa kita ini. Ucapan Bung Karno ini dipelintir begitu saja oleh beberapa kalangan, dijadikan isu politik guna mencari simpatik, dan mendiskreditkan ajaran Bung Karno itu sendiri. Apakah seseorang yang menerima nama gelar dari raja Arab Saudi, bintang kehormatan dari Sri Paus, dan penghormatan yg setingginya dari negara lain disebut anti asing? Sama sekali tidak! Bahkan dengan Belanda sendiri Bung Karno tidak membenci orang belanda, yang dilawan Bung Karno adalah sistem kolonial dan imperialisme. Ini selaras dengan perkataan Bung Karno diatas yang dilawan adalah imperialismenya, yang merusak cara hidup bangsa Indonesia , yang secara tak sadar masuk yang tentunya merusak sendi kehidupan sosial bernegara kita.


Dari disini bila kita mendengar atau membaca sepenggal saja dari ungkapan Bung Karno itu maka kita pastinya terheran-heran. Bila kita telisik lebih dalam, ucapan tersebut adalah yang berjenis induktif, penekanannya terletak di akhir kalimat, “tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya ini.” Dari sini kita harus melihat, tetaplah menjadi orang nusantara, tetaplah menjadi pribadi nusantara, bukan orang yang gemar mengekor bangsa lain, tetap berpegang pada kultur, adat dan budaya bangsa kita yang sedemikian kaya. Lalu timbul pertanyaan mana yang lebih baik, “orang islam yang arab, atau orang islam yang nusantara? orang hindu yang India atau orang hindu yang nusantara? orang kristen yang barat atau orang Kristen yang nusantara?”



Bung Karno seorang nasionalis, seseorang yang sangat mengedepankan kebudayaan nasional. Kebudayaan dijadikan alat perjuangan, benteng untuk menahan kolonialisme dan imperialisme. Imperialisme yang dimaksud ialah nafsu untuk menguasai, nafsu untuk menguasai ekonomi, politik, sosial dan budaya negara lain. Kebudayaan nasional nilai Bung Karno dijadikan alat pemersatu bangsa.

Dari kebudayaan, bangsa asing menancapkan politik pecah belahnya yang menggerus jati diri bangsa. Masih ingat “holands dekken”, cara berpikirnya orang Belanda yang sangat dibenci Bung Karno.  Sampai akhir hayatnya Bung Karno melawan kolonialisme, imperialisme dan bahkan didalam pidato-pidatonya, ia memprediksi neo-kolonialisme , neo-imperialisme yang akan datang dimasa depan. Dia tidak hanya imperialisme fisik, namun ia imperialisme yang halus, yang tidak tampak ,salah satunya adalah imperialisme kebudayaan itu sendiri.


Bung Karno sama sekali tidak menolak agama, karena ia adalah orang yang beragama. Namun seorang yang beragama, dengan berwawasan kebangsaan yang luas, yang menumbuhkan peri-kemanusiaan antar bangsa, dan kasih sayang dengan semua mahluk. Ajaran agama, ketauhidannya bila didalam islam yang harus kita tempuh kita patuhi, dan jangan membebek saja dengan kebudayaan bangsa lain sehingga kita adalah bangsa yang tidak mempunyai jati diri. 


Didalam buku Dibawah Bendera Revolusi hal.497, Bung Karno menulis “Cobalah kita mengambil satu contoh. Islam melarang kita makan daging babi. Islam juga melarang kita menghina kepada simiskin, memakan haknya anak yatim, memfitnah orang lain , menyekutukan Tuhan yang Esa itu. Malahan yang belakangan ini dosa yang terbesar ,dosa datuknya dosa. Tetapi apa yang kita lihat? Coba tuan menghina simiskin, makan haknya anak yatim , memfitnah orang lain, musyrik didalam tuan punya pikiran dan perbuatan,- maka tidak banyak orang yang akan menunjuk tuan dengan jari seraya berkata: tuan menyalahi islam. Tetapi coba tuan makan daging babi, walau hanya sebesar biji asampun dan seluruh dunia akan mengatakan tuan orang kafir!  Inilah gambarnya jiwa islam sekarang ini: terlalu mementingkan kulit saja, tidak mementingkan isi. Terlalu terikat kepada “uiterlijke vormen” tidak  menyala-nyalakan “intrinsieke warden”…”.


Maksud Bung Karno disini adalah isi bukan kulit. Agama adalah sebuah jalan manusia mendekatkan diri pada sang pencipta. Lalu mengapa kita saling membunuh, saling menyudutkan, ingkar-mengingkari bila orang lain berbeda dengan kita? 


Bila kita memandang dari sudut historisitas, sejarah masuknya agama ke dalam bumi nusantara ini menggunakan pendekatan kultural yang harmonis. Bangsa Indonesia dikenal dengan bangsa yang theistik, bangsa yang memiliki kepribadian bertuhan. Bangsa yang ramah, yang menerima kultur dan budaya asing namun tetap mempertahankan budaya diri sendiri. Bangsa yang terbuka, bangsa yang bisa membaur dan bisa berbaur oleh adat dan kebudayaan lain. Adalah karena kebesaran budaya kita, kita mengenal budaya lain bukan sebaliknya.


Bila kita kembali ke jaman pra hindu, nenek moyang kita memiliki banyak peninggalan, warisan , dan tradisi. Salah satunya bagaimana cara kita melakukan hubungan dialogis dengan alam sekitar, dan antar manusia.  Kebudayaan kita merupakan kebudayaan purba, dan erat kaitannya dengan perkembangan sebuah peradaban. Ini dibuktikan penemuan fosil manusia purba, yang kita sebut manusia jawa. Megantrophus dan Phitecantropus ditemukan dibumi kita. Belum lagi eksistensi komodo, sibinatang purba yang masih ada sampai sekarang, juga berada dibumi kita. 


Manusia-manusia ini melewati beberapa periode, perkembangan di bumi kita. Dimulai dari periode berburu, dan dilanjutkan dengan periode bercocok tanam. Dengan kata lain nusantara ini dulunya, bukan lahan kosong yang tidak berpenghuni,  namun memiliki penghuni dengan segala embrio peradaban yang terus berkembang dari waktu ke waktu.


Tanah kita yang subur, iklim yang tropis menjadikan faktor utama orang-orang zaman dahulu mencari nusantara ini. Perkembangan food gathering menjadi food producing mengharuskan manusia mencari lahan untuk bercocok tanam. Kehidupan yang awalnya berburu, maju menjadi kehidupan bercocok tanam. Ya, di bumi nusantara inilah penggunaan teknologi pertanian yang paling awal. Manusia mengamati tumbuhan yang tumbuh dari tanah, hujan yang menyuburkannya, ia kemudian meramu akar-akaran , melihat hujan, menanamnya menjadi umbi dan kemudian memanennya. Hal yang paling sederhana, namun disini letak evolusinya peradaban itu.


Peradaban pada masa itu erat kaitannya dengan posisi perempuan, disaat laki-laki hanya mengetahui cara berburu, perempuan sudah mendapatkan cara berkebun dan bertempat tinggal. Ya, adalah perempuan yang memulai sebuah era baru dalam evolusi peradaban itu, ya jasa perempuan yang tidak dapat ditinggalkan. Maka Bung Karno mengatakan dalam sarinah : “Janganlah laki-laki mengira bahwa ia dapat maju dan subur ,kalau tidak dibarengi oleh kemajuan masyarakat perempuan pula. Janganlah laki-laki mengira bahwa bisa ditanam sesuatu kultur, kalau perempuan dihinakan dalam kultur itu…”.


Peradaban semakin maju, pada masa itu mereka mengharapkan upaya dari kekuatan yang lebih besar agar panennya bisa tumbuh dengan baik, buruannya banyak didapat lalu muncullah ritual-ritual yang didasarkan insting ketakutan memohon kepada arwah leluhur, nenek moyang. Dari sinilah muncul kepercayaan masyarakat pada masa itu yang kita kenal sekarang animisme.


Perkembangan selanjutnya manusia memang memiliki watak dasar mempelajari segala sesuatu, segala proses yang ada. Pada masa itu mereka telah bertempat tinggal didalam gua-gua, didalam gubuk-gubuk sederhana sehingga mereka beranggapan bahwa leluhur,arwah nenek moyang perlulah untuk dicarikan tempat tinggalnya, sebagaimana manusia memerlukan tempat untuk berlindung. Lalu mereka mengambil benda-benda langka sebagai media, sebagai perwujudan tempat tinggal arwah nenek moyang yakni batu besar dan pohon besar. 


Disinilah perkembangan animisme menjadi dinamisme. Mereka menyembah pohon besar itu sebagai representasi dari arwah nenek moyang yang bersangkar pada media tersebut. Disinilah mulai muncul kearifan bagaimana tidak boleh menebang pohon sembarangan (karena ada pohon tertentu yang ditinggali arwah nenek moyang,) tidak boleh berburu sembarangan yang secara tidak langsung berhubungan dengan keadaan dan keberlangsungan alam sekitar.


Ritual pada masa itu telah berkembang, yang pada mulanya dilakukan secara sendiri-sendiri,pada masa itu dipimpin oleh seseorang yang dianggap memiliki kedekatan, memiliki kecakapan, untuk memimpin ritual peribadatan. Lalu si pemimpin ritual ini bertugas memimpin orang-orangnya menentukan kapan waktu ibadah, dan apa-apa yang harus dipatuhi. Posisi kepala ritual ini seiring kemajuan waktu berubah menjadi kepala suku, ia memiliki wewenang yang lebih luas lagi tidak hanya didalam ritual saja namun sampai kepada hal-hal yang menyangkut keseharian masyarakatnya. Ia yang menentukan kapan musim bertanam, panen, berburu, menikah, membangun tempat tinggal dan lainnya. Secara tidak langsung, tatanan masyarakat berangsur berkembang,


Kedatangan ras proto melayu, deutro melayu, melanesoid serta ras lainnya ke nusantara ini berawal dari migrasi besar-besaran yang disebabkan oleh kondisi alam, perebutan mencari lahan yang subur dan lain sebagainya. Ras-ras ini kemudian melebur dengan penduduk asli. Disinilah lahirnya proses akulturasi yang paling pertama. Disinilah muncul suku batak, dayak, sunda, bugis, jawa, toraja, hingga papua.


Bila kita cermati suku-suku di Indonesia ini memiliki akar budaya dan akar bahasa yang sama. Disinilah perkembangan bahasa muncul, karena bahasa identik dengan peradaban maka ada perbedaan bahasa diantara suku-suku yg memiliki tempat tinggal dan corak yg berbeda namun masih dalam akar dan rumpun yang sama. Dari segi kepercayaan, mereka kemudian menggunakan artefak-artefak, sarkofagus hingga menhir untuk ritual. Benda-benda itu digunakan untuk memberi penghormatan kepada orang yang wafat, apalagi orang yang wafat tersebut memiliki status sosial yang tinggi seperti kepalu ritual, kepala adat hingga kepala suku. Inilah salah satu peradaban awal hingga perkembangannya pada masa nenek moyang kita.


MASA HINDU DAN BUDHA


 Perkembangan selanjutnya yaitu masuknya pengaruh hindu dan budha. Agama hindu berasal dari daratan india, dilembah sungai Indus India selatan. Masuknya hindu dan budha sekali lagi juga menggunakan pendekatan kultural dan budaya sehingga proses akulturasi kembali terjadi. Adanya jalinan budaya luar yang masuk pada saat itu dengan budaya asli, yang berkembang secara gradual membentuk sebuah kebudayaan baru yang masih diilhami kebudayaan asli. Perpaduan itu baik berupa benda dan tak benda. 


Masuknya pengaruh hindu kembali lagi mempengaruhi perkembangan masyarakat dinusantara.  Kepala suku asli yang kita bahas sebelumnya,seseorang yang memiliki otoritas atas masyarakatnya dan klaim atas wilayahnya, telah membentuk sebuah monarchi kecil dan menjadi penguasa sukunya. Mereka melakukan penjelajahan kewilayah lain, yang awalnya bersifat nomaden kemudian mereka menemukan tempat yang cocok dan pas untuk tinggal serta bercocok tanam. Hubungan sosial dengan suku-suku lain dijalin baik melalui jalur barter komoditas ataupun pernikahan. 


Kedatangan orang-orang dari sungai Indus untuk berdagang, menukarkan komoditasnya dengan komoditas lokal yang bermutu tinggi disambut baik oleh penduduk nusantara. Disinilah terjadi kontak sosial pertama melalui perdagangan dengan orang-orang asing.  Dari situlah datang kaum brahmana yang juga menyebarkan ajaran hindu dinusantara. Para pemuka-pemuka ini cukup mempengaruhi raja-raja, kepala-kepala suku agar mengadopsi nilai-nilai hindu didalam tatanan masyarakatnya.


Pencampuran budaya itu mencakup sistem religi, sistem kemasyarakatan hingga sistem pemerintahannya. Pada era sebelumnya masyarakat kita mengenal arwah nenek moyang yang bersemedi didalam pohon dan batu besar, kaum brahmana memperkenalkan konsep ketuhanannya melalui archa, patung, dan simbol-simbol lain. Mereka membenarkan adanya kekuatan super-natural yang berada di alam raya ini, bersemayam di patung-patung dengan sebutan Brahmana, Vishnu dan Shiva.  Ternyata konsep ini diterima dan dapat dimengerti oleh penduduk sekitar, maka mereka berangsur-angsur menerima hindu sebagai kepercayaan tanpa pemaksaan. Mereka beranggapan model kepercayaan yang baru ini tidaklah menyimpang dan penyempurna pagi kepercayaan dinamisme lamanya. Begitupun raja-raja dan kepala suku-kepala suku tersebut.


Para brahmana ini memperkenalkan bahwa raja-raja inilah keturunan dewa yang harus dipertahankan garis keturunannya, karena mereka duluan menyadari akan adanya Tuhan. Pada masa ini muncullah legitimasi awal, legitimasi ketuhanan bahwa raja merupakan penguasa dan kekuasaannya berasal dari dewa. Inilah kemunculan feodalisme yang paling awal dibumi nusantara. 


Sistem masyarakat yang dulunya egaliter, sosialisme purba karena didasarkan kolektivitas bersama, kepentingan suku bersama berganti menjadi sistem feodal. Raja menjadi sumber kekuasaan, raja pemilik segala macam yang ada diwilayahnya, rakyat harus tunduk patuh melayani raja dan menyetorkan hasil panennya kepada raja. Raja digambarkan perwujudan dewa didalam candi dengan sebuah patung yang besar. Disisi lain, raja melindungi kepentingan kaum brahmana dalam berdagang dan menyiarkan agama, dan berangsur-angsur agama hindu dijadikan agama resmi kerajaan. Inilah awal-awal munculnya kerajaan hindu di nusantara.


Pengaruh hindu juga mempengaruhi sistem kemasyarakatan nusantara. Bangsa Arya yang tinggal dilembah sungai Indus telah menganut sistem kasta. Sistem kasta ini mengatur hubungan sosial bangsa Arya dengan bangsa yang ditaklukannya. Brahmana merupakan tingkat pertama, Ksatria tingkat kedua, Waisya tingkat ketiga, dan Sudra tingkat keempat. 


Dari perkembangan sistem kasta ini maka berkembanglah bahasa penduduk asli yang telah terlebih dahulu bertransformasi dengan kebudayaan hindu. Bahasa lokal karena adanya sistem kasta banyak mengandung tingkatan bahasa. Di Jawa kita mengenal bahasa Kromo-ingil untuk kalangan keraton dan Jawa Ngoko untuk rakyat kebanyakan dan masih contoh tingkatan bahasa yang lainnya. Namun yang perlu ingat disini, sebesar apapun pengaruh budaya hindu ke nusantara tidak dapat menghilangkan sama sekali kearifan-kearifan lokal masyarakat yang telah ada. Kebudayaan hindu melakukan proses penyesuaian terhadap tradisi asli yang ada di nusantara.


Di relief candi Prambanan kita akan menemukan cerita tentang Mahabarata yang telah di sadur dan dikonversi kedalam bahasa lokal. Prasati-prasasti, manuskrip yang ditinggalkan pada masa itu, ditandai dengan perpaduan bahasa jawa kuno dan melayu kuno serta sansekerta dengan penulisan huruf palawa. Ini menandai bahasa lokal kuno dan huruf lokal kuno ber-metamorfosa disebabkan masuknya kebudayaan hindu kenusantara. Di lain pihak yang bangsa Indonesia asli yang bukan pendatang, pergi berziarah ke India dan belajar tentang agama hindu lalu kembali kekampung halamannya guna menyebarkan agama tersebut.   


Kitab Sutasoma karya Mpu Tantular merupakan suatu karya yang monumental, disinilah kita menemukan istilah bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini yang melekat pada dasar negara kita, sebuah bukti bahwa ini tidak hanya semboyan retoris belaka namun namun sudah menjadi realitas historis. Ini bukti bahwa masyarakat kita pada masa itu sudah mencapai fase heterogenitas, kemajemukan dan bisa dengan dewasa mengkonsolidasikan dirinya.


Perkembangan ajaran budha juga hampir sama dengan ajaran agama hindu. Budha menyampaikan ajarannya kepada murid-muridnya dan menyerukan agar muridnya menyampaikan ajaran tersebut keseluruh dunia. Biksu budha ini melakukan perjalanan yang dimulai dari India ke dataran Tibet hingga turun ke Asia Tenggara dan masuk ke nusantara. 


Munculnya Budha ditandai dengan biksu yang membawa kitab-kitab suci relief dan naskah-naskah kuno. Lalu timbullah pertanyaan bagaimana perpaduan kedua agama ini tidak memunculkan bentrokan, di kerajaan Majapahit misalnya. Agama Shiva tetap dijalankan sebagai agama resmi kerajaan berdampingan dengan agama budha. Pada masa itu raja ingin menkonsolidasikan kekuatan yang ada didalam untuk menghadap serangan Kubilai Khan dari luar. Ini terlihat dari candi-candi yang dibangun pada masa kerajaan tersebut, ada yang bernuansa hindu dan ada yang bernuansa budha. Penggambaran raja yang sama didalam candi-candi tersebut ada yang bersifat Shiva, Visnu, maupun Budha.


Hindu dan budha sangat mempengaruhi peradaban nusantara, adanya dua kerajaan besar menandai peradaban nusantara yang sudah sedemikian tinggi. Sriwijaya dan Majapahit keduanya merupakan kesatuan geopolitik yang hampir sama dengan Indonesia saat ini. Kedua kerajaan tersebut menjadi pusat politik, ekonomi, sosial, seni, budaya, dan ilmu pengetahuan yang menjadikan nusantara sebagai pusat peradaban dengan kekuatan maritim terkuat didunia. Ini bukti betapa perpaduan budaya lokal dengan ajaran hindu dan budha yang menghasilkan lompatan sejarah yang sangat besar. Masyarakat Indonesia sebelum masuk hindu dan budha telah mencapai tingkat tertentu, melalui proses akulturasi budaya yang dianggap sesuai dengan karakteristik masyarakat setempat maka terjadilah revolusi peradaban yang sangat besar pada masa itu.


ISLAM


Penyebaran agama islam di nusantara ini erat kaitannya dengan perdagangan. Pedagang-pedagang dari Gujarat datang berdagang sekaligus melakukan syiar islam. Lalu timbul pertanyaan “bagaimana islam bisa diterima oleh sebagian besar penduduk di nusantara, yang sebelumnya memeluk agama hindu dan budha maupun animisme/dinamisme?”


Proses islamisasi di nusantara melalui proses yang cukup panjang pedagang melakukan penyebaran islam melalui proses jual beli komoditi dagangan. Transportasi yang digunakan oleh para pedagang ini adalah transportasi laut yang ditentukan oleh angin musim. Sehingga pedagang ini harus menetap beberapa lama menunggu musim berganti agar dapat kembali ketempat asalnya. 


Di dalam periode waktu yang seperti itu para pedagang melakukan kontak sosial yang lebih intens kepada penduduk asli. Kontak sosial tersebut berupa komunikasi langsung sehari-hari, tempat pengajaran, sampai kepada hubungan perkawinan terhadap gadis lokal. Sehingga islam mulai tersebar di wilayah pesisir dan pelabuhan-pelabuhan internasional di nusantara seperti Barus pada Sumatera Timur.


Mundurnya kerajaan hindu dan budha yang disebabkan oleh sebab-sebab internal menyebabkan pengaruh islam semakin kuat. Para sultan dan raja-raja ditengah kemunduran rajanya untuk menghindari lebih banyak musuh menerima para pedagang-pedagang menjadi duta dan penasihat. Walaupun agama islam tidak menjadi agama resmi kerajaan, namun para penyebar islam ini mendapat lisensi dari raja-raja tersebut untuk berkelana dan menyebarkan agama islam ke pelosok wilayahnya.


Selanjutnya, runtuhnya kerajaan hindu dan budha memunculkan kekuatan politik baru yang didominasi oleh islam kerajaan islam di Pasai Aceh, yang erat hubungannya dengan pelabuhan Barus. Raja kerajaan tesebut dulunya adalah kepala kampung dan menamai dirinya dengan istilah islam.  Kedudukan kerajaan-kerajaan islam sangat penting agar menguasai otoritas jalur perdagangan internasional yang ada dinusantara. Menguatnya kekuatan islam secara global yang dimulai dari dinasti Abbasiyah (750-1258 M) dan selanjutnya dinasti Ottoman mempengaruhi pola hubungan kerajaan-kerajaan yang telah berdiri. Perkembangan perdagangan yang awalnya menggunakan sistem barter, diganti dengan sistem uang emas, inilah akibat dari pengaruh islam terhadap perdagangan di nusantara.


Penyebar agama islam yang sangat monumental adalah Walisongo. Para wali ini menyebarkan agama islam dengan metode pendekatan kultural dan budaya. Gamelan, gong, bonang, dan wayang dijadikan saran untuk menyebarkan agama islam. 


Cerita diperwayangan misalnya masih menggunakan tokoh-tokoh yang erat kaitannya dengan cerita pada masa hindu budha dahulu. Ternyata cara ini cukup ampuh, para ulama tersebut melakukan penyampaian yang persuasif dan tidak memaksa sehingga para penduduk yang dulunya beragama hindu dan budha dengan kerelaan berbondong-bondong masuk kedalam islam.

Berdirinya kerajaan-kerajaan islam di Indonesia semakin memperkuat dominasi islam di nusantara. Islam banyak membawa kemajuan-kemajuan teknologi, bahasa yang berpadu dengan budaya nusantara. Seperti seni bangunan, ukiran-ukiran, kesenian, kalender, dan kesusastraan didalam nusantara. Ini mencerminkan kebudayaan nusantara sangat ramah dan sangat fleksibel didalam menerima kebudayaan asing yang baru masuk.


Dengan majunya perdagangan pada masa itu, bahasa melayu telah menjadi Lingua franca yakni bahasa perhubungan. Tak heran pada masa itu, kita melihat buku agama dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa melayu mencerminkan akulturasi tersebut.


Kedatangan bangsa Eropa yang awalnya berdagang mencari komoditas rempah-rempah lama kelamaan menjadi kolonialisme awal, banyak ditentang oleh kerajaan-kerajaan islam yang sudah menguasai nusantara terlebih dahulu. Maka dari itu, pengaruh Kristen kedalam nusantara hanya bisa dilakukan terhdap kerajaan-kerajaan islam yang lemah dan diluar wilayah kerajaan tersebut.


KRISTEN


Agama Kristen (katolik) di bawa oleh bangsa Portugis sedangkan protestan Calvinis dan Lutheran diperkenalkan oleh Belanda. Wilayah-wilayah yang dimasuki pengaruh Kristen misalnya Batak, Nias, Mentawai, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Tanah Toraja, NTT, sebagian Maluku dan Papua. Kita tentu ingat gold glory gospel. Bangsa Eropa datang ke nusantara selain mencari komoditas rempah-rempah namun mereka juga menyebarkan agama Kristen kepada penduduk nusantara. Misionaris-misionaris ini juga melakukan proses akulturasi pada penyebarannya. 


Lihat saja ditanah Batak misalnya, sebelum kehadiran Nomensen didahului oleh beberapa penyebar yang gagal. Mereka kurang bisa melakukan kontak sosial pada masyarakat setempat, setelah  Nomensen datang, Nomensen mencoba pendekatan dengan kultur dan budaya. Dan ternyata cara ini juga ampuh dalam menyebarkan agama tersebut. Contohnya, adanya gereja persatuan sub suku Batak yang embrionya dibentuk oleh Nomensen pada masa itu yg terus berkembang sampai sekarang. Walaupun penyebaran agama Kristen identik dengan orang-orang Eropa yang kemudian menjajah, namun mereka tidak bisa tidak melakukan penyebaran agama tanpa pendekatan budaya guna meminimalisir pemberontakan dan membendung kekuatan islam yang telah dulu ada.


PENUTUP


Konteks agama yang dipandang bung Karno adalah dimana manusia dapat berhubungan dengan Tuhan dan manusia lain serta mesti di manifestasikan dengan jelas. Pada pidato Honoris causadidepan IAIN Jakarta tahun 1964 antara lain : “… kalau saudara tanya, apakah bung Karno itu percaya kepada Tuhan? Saya menjawab iya saya percaya kepada Tuhan. Malahan sebagai kukatakan berulang-ulang, saya hidup diberi karunia Tuhan. Hidup menurut anggapan saya untuk apa?...., untuk mengabdi kepada Tuhan yang maha esa, mengabdi kepada tanah air, mengabdi kepada bangsa, mengabdi kepada cita-cita. Saya sebutkan Tuhan Yang Maha Esa yang nomor satu oleh karena bagi saya tanah air itu amanat tuhan kepada kita. 


Nah itu bisa dimengerti masuk akal. Tetapi kalau bung Karno berkata negara harus berTuhan, bagaimana negara kok berTuhan? Apa negara itu punya jiwa? Nah saudara-saudara ada pertanyaan yang demikian itu. Jadi dulu suadara-saudara, inilah salah satu contoh daripada pengertian saya Ushuluddin segala yang "kumelip" di dunia ini, ya manusia, ya binatang, ya pohon, ya gunung, ya laut, ya batu kerikil, ya negara, harus menyembah kepada Tuhan. Tuhan yang dari seru sekalian alam. Tuhan dari negara, sebab negara itupun berada di alam ini.”


Maka dari pidato Honoris causa di depana IAIN Jakarta ditegaskan lagi oleh bung karno, karena itu ”dengan keyakinan itu saya berkata negara yang tidak menyembah kepada Tuhan, negara yang tidak berTuhan, akhirnya celaka dan lenyap dari muka bumi ini.”. Pengejewantahan dari mencintai Tuhan itu, maka menurut bung Karno adalah mencintai seluruh makhluk alam ini, baik yang bernyawa maupun tidak. Nasionalisme bung Karno dilengkapi dengan wawasan kemanusiaan yang sangat luas sehingga mencintai Tuhan dilihat tidak hanya dari kecakapan agamanya saja, namun hubungannya terhadap bangsa, negara, dan umat manusia.

Bung Karno menyelami sejarah akan hadirnya agama-agama besar yang ada di Indonesia saat ini. Bung karno menyadari betul bahwa penyebaran agama-agama tersebut melalui proses akulturasi dimana kebudayaan nusantara yang terbentuk menerima kebudayaan asing lalu kebudayaan itu secara perlahan diterima oleh masyarakat tanpa menghilangkan kebudayaan asli sehingga kebudayaan yang ada menjadi sangat kaya dan akomodatif.


Agama dan budaya terjalin secara harmonis keduanya tidak saling merusak, keduanya merupakan jalinan yang berkelindan secara harmonis sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Kebudayaan nasional kita menjadi kebanggaan dan penentu jati diri bangsa kita. Lalu mengapa kita menjadi kearab-araban, keindia-indiaan , kebarat-baratan? Kemudian kita membuang sama sekali adat istiadat, budaya, dan kultur kita? Ingatlah bila kita meniru barat, secara tak sadar membawa imperialisme kebudayaan, bila kita meniru arab secara tak sadar, kita membawa budaya arab “baduy” , arab padang pasir, kekolotan, abunya islam bukan apinya, jubah dan celak mata, peradaban yang gagap memegang senjata dan granat tangan karena telah terbiasa berperang memegang pedang dan menunggang kuda. Ujungnya sampai kepada radikalisme dan fanatisme. Bila kita meniru negara lain, kita akan menjadi bangsa yang lembek ,cengeng, tidak percaya diri dan tidak berdiri diatas kaki sendiri.


Mengenai kebudayaan nasional, Bung Karno berbicara di Manifesto politik “Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi engkau yang tentunya anti imperialisme ekonomi, dan menentang imperialisme ekonomi, engkau yang menentang imperialisme politik, kenapa dikalangan engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa dikalangan engkau banyak yang masih rock-n’roll-rock’nrollan, dansi-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngakngik-ngek gila-gilaan, dan lainlain sebagainya lagi? Kenapa dikalangan engkau banyak yang gemar membaca tulisan-tulisan dari luaran, yang nyata itu adalah imperialisme kebudayaan? Pemerintah akan melindungi kebudayaan nasional, dan akan membantu berkembangnya kebudayaan nasional tetapi engkau pemuda-pemudipun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan dan melindungi serta memperkembangkan kebudayaan nasional!”.


Disini kita melihat pendirian Bung Karno mengedepankan kultur dan budaya nusantara, menjadi benteng terhadap imperialisme bangsa asing. Mengembangkan maksud  Bung Karno yaitu, kita menerima kebudayaan asing yang kita buang semangat imperialismenya, kita buang semangat radikalisme, fanatismenya, kebudayaan lokal juga kita buang semangat feodalismenya. Sehingga tidak ada satupun dari kita yang bangga dengan fanatismenya, bangga ia berjenggot namun memandang rendah orang yang tidak berjenggot, bangga dengan hijab dan cadarnya namun memandang rendah saudaranya yang tidak berhijab.Bangga dengan kebaratannya dan memandang rendah saudaranya yang Indonesia asli.  Itu adalah sebuah kesia-siaan belaka.


Dengan kita menerima secara mentah-mentah budaya asing, maka akan berpengaruh kepada cara berpikir, cara hidup, komunikasi, dan lebih lanjut berpengaruh kepada peradaban itu sendiri. Telah terjadi krisis moral dan perpecahan apabila kita tidak menemukan jati diri sendiri. Dilain pihak kita berteriak-teriak saat budaya dan adat istiadat kita dicaplok negara lain, namun kita tidak sadar bahwa itu adalah penyebab dari ketidakpedulian kita selama ini.


Didalam kisah ramayana disebutkan adanya nama Jawadwipa, pulau yang kaya dengan tambang emas dan perak. Nama Jawadwipa juga sudah dikenal oleh seorang geografi Yunani,Ptolomeus, pada awal tarikh masehi dengan nama Labadiu.Jadi nama kepulauan Indonesia sudah ditulis lama oleh penulis barat pada awal-awal tahun masehi. Labadiu artinya pulau padi, dan juga dikenal Jawadwipa. Kita jangan sampai tertipu bahwa peradaban dibarat adalah peradaban superior sedangkan ditimur dalah inferior. Matahari terbit dari sebelah timur, waktu dunia dimulai dari timur, pantaslah peradaban berasal dari timur. Kolonialisme barat yang begitu panjang bagi dinegara-negara timur telah menimbulkan luka yang teramat dalam, dan menghasilkan banyak rasa rendah diri.


Kebanyakan penduduk asli negara-negara timur tidak percaya diri dengan kebudayaan nasional yang dimilikinya dan cenderung dengan kebudayaan asing. Ditengah era globalisasi ini, tak hanya barat yang menancapkan kukunya kepada kita, namun negara-negara timur yang telah maju juga berlomba-lomba mencengkramkan kukunya kepada kita. Bangsa kita dihantam dari dalam dan luar, namun kita harus bertahan. Tidak berlebihan bila Malcom X melakukan sindiran terhadap seorang pemuda negro yang mencat rambutnya dengan warna pirang; “kulit putih telah mengajar anda untuk membenci diri anda sendiri, dengan menyuruh kita mengecat rambut agar serupa dengan rambut mereka” (Alex Haley,1995). Lalu bagaimana dengan kebudayaan bangsa lain? Apa kita masih tidak sadar kita telah dicengkram bangsa lain? Pembaca sendiri yang mengartikannya.


Kebudayaan nasional kita terbentuk melalui proses yang panjang, kebudayaan nasional kita merupakan perpaduan dari berbagai corak kebudayaan. Sehingga kebudayaan kita sangatlah kaya. Nusantara ini telah menjadi destinasi wilayah zaman pra aksara bahkan jauh sebelumnya, menjadi negara pusat peradaban pada masanya , lalu mengapa kita menjadi bangsa pengekor dengan dalih agama? Tulisan ini dibuat untuk pencerahan terhadap statement Bung Karno dan semoga orang-orang yang membacanya menjadi sadar dan menjadi orang-orang yang bertakwa serta cerdas.


Lalu untuk menjawab pertanyaan yang awal saya tuliskan tadi, bukankah Allah berfirman di Q.S Alhujurat ayat 13 yaitu, “Hai manusia, sungguh Kami telah ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal secara baik. Sungguh yang termulia disisi Allah diantaramu adalah orang yang paling takwa kepadaNya. Allah sungguh Maha Mengetahui dan Maha Teliti.”


Penulis adalah Ketua Lembaga Kajian, aktivis dan pemerhati sosial.


www.kompasiana.com