Ilustrasi_teakdoor.com |
Tetapi dalam hal ini pemakainya jangan merasa bahwa tindakannya adalah sunnah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits perihal pakaian Ihram. Sebab, Rasulullah tak pernah memerintahkan memakai kain Ihram untuk keperluan di luar ihram. Bahkan tak pernah tercatat Rasulullah atau sahabat memakai pakaian ihram untuk hal selain konteks betul-betul ihram.
Hal yang sama juga berlaku ketika seorang wanita muslimah memakai sorban sebagai kerudung. Fenomena ini cukup banyak ditemui saat ini dan gambarnya pun mudah dilihat di internet. Dari segi fiqih, tentu saja tak ada larangan memakai kain sorban sebagai kerudung sebab materi kerudung bersifat longgar tanpa ada aturan khusus.
Selama pemakaiannya tak menyerupai lelaki dan bahannya tak transparan, maka secara fiqih tak masalah. Hanya saja tentu pemakainya dilarang membawa-bawa Rasulullah dalam tindakan ini dengan beralasan bahwa memakai sorban merupakan sunnah Rasul sebab sudah maklum bahwa Rasulullah hanya menyunahkan sorban dalam konteks dipakai lelaki saja, bukan sebagai kerudung perempuan.
Nalar yang sama juga bisa kita pakai untuk melihat fenomena aksi demonstrasi yang marak saat ini di mana para demonstran memakai atribut bendera yang mereka sebut sebagai “bendera Islam”, “bendera Rasul” atau “bendera tauhid”. Tentu saja tak ada larangan khusus yang menyatakan demonstrasi dilarang membawa bendera dengan sifat tertentu itu yang mereka yakini sebagai Liwa’ dan Rayah Rasulullah.
Silakan berunjuk rasa memakai atribut apa pun selama tak ada simbol-simbol Islam yang diperlakukan dengan cara yang kurang hormat, termasuk Liwa’ dan Rayah. Hanya saja perlu diingat bahwa konteks kesunnahan memakai Liwa’ dan Rayah adalah seperti diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani berikut ini:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيثِ اسْتِحْبَاب اتِّخَاذ الألوية فِي الحروب وَأَنَّ اللِّوَاءَ يَكُونُ مَعَ الْأَمِيرِ
“Dalam hadits-hadits ini [tentang Liwa’ dan Rayah], ada kesunnahan untuk membawa bendera dalam berbagai peperangan dan bahwasanya Liwa’ dibawa oleh Amir.” (Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, juz VI, halaman 127).
Adapun di luar konteks perang seperti saat ini, maka tentu saja tak layak membawa-bawa nama Rasul lagi sebab Liwa’ dan Rayah itu tak digunakan dalam konteks yang diperintahkan oleh Rasulullah ﷺ, yakni konteks perang. Tak pernah sekalipun Rasulullah ﷺ mengibarkan bendera apa pun dalam konteks di luar perang, tidak di kediamannya, tidak di masjidnya, tidak di kediaman para gubernurnya dan tidak di mana pun di luar konteks perang. Juga tak pernah Rasulullah memerintahkan untuk membuat bendera khusus yang menjadi simbol umat Islam seluruhnya dari waktu ke waktu. Ini menjadi bukti bahwa fungsi bendera pada saat itu dan saat ini sudah jauh berbeda.
Adapun peristiwa Fathu Makkah atau penaklukan kota Makkah yang biasa diasumsikan sebagai kondisi tidak perang, para sejarawan menulis itu sebagai peristiwa peperangan (ghazwah). Istilah “ghazwah Fathu Makkah” dapat ditemukan dengan mudah di berbagai buku sejarah, seperti ar-Rakhîq al-Makhtûm karya al-Mubarakfuri (hlm. 333), al-Mawâhib al-Ladunniyah karya Syihabuddin al-Qasthalani (juz II, hlm. 189), as-Sîrah al-Halabiyah karya Ali Burhanuddin al-Halabi (juz II, hlm. 169), as-Sîrah an-Nabawiyyah karya Ali as-Shallabi (hlm. 748), dan banyak kitab lainnya.
Bahkan Dr. Abdurrahman bin Said al-Qahthani, seorang penulis kontemporer, menulis buku berjudul Ghazwah Fathu Makkah fî Dlau’ as-Sunnah al-Muthahharah (Perang Fathu Makkah Dalam Cahaya Sunnah yang Suci) yang berisi informasi detail mengenai peperangan ini dari aspek riwayat hadits. Ini semua adalah bukti bahwa peristiwa Fathu Makkah adalah peperangan, mekipun tak menimbulkan pertempuran sengit sebab jumlah pasukan yang tak sepadan.
Jadi, menyebut Liwa’ dan Rayah berwarna hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid itu seharusnya jangan menggunakan istilah yang berkonotasi sunnah sebagai “bendera Islam”, “bendera Rasul” atau “bendera tauhid”. Semua sebutan ini tidak tepat, apalagi menurut kajian hadits dan sejarah tidaklah valid bahwa ciri-ciri Liwa’ dan Rayah seperti itu. Liwa’ dan Rayah yang valid dipakai di masa Rasul dan sahabat adalah kain polos dengan beragam warna.
Bila konsisten dengan klaim bahwa itu adalah bendera Rasul, mengapa tak memakai warna lain yang juga pernah dipakai Rasul? Mengapa gaya tulisannya konsisten seperti itu terus tanpa dimodifikasi? Padahal bendera khalifah Keempat Islam berwarna merah dan bertuliskan “Muhammad Rasulullah”, apakah berarti khalifah keempat tak paham simbol umat Islam?
Mengapa pula kekhalifahan Utsmaniyah (Ottoman) yang merupakan kekhalifahan global terakhir justru memakai bendera dengan bentuk, corak dan warna berbeda tanpa ada satu pun ulama yang menggugat? Sederet pertanyaan ini tentu tak mudah dijawab kecuali mau mengakui adanya unsur propaganda tertentu yang diatasnamakan Islam secara umum.
Tampaknya yang paling tepat menyebut Liwa’ dan Rayah yang ada sekarang di Indonesia adalah sebagai simbol kelompok tertentu yang mempopulerkannya untuk dikibarkan di luar kondisi perang dalam bentuk dan gaya tulisan yang konsisten itu, yakni kelompok yang mengibarkannya di kantor-kantor dan event-event mereka.
Apabila kemudian simbol ini bergeser dari sekadar dipakai kelompok tertentu saja tapi dipakai lintas kelompok dalam ajang demonstrasi, maka sebut saja sebagai bendera demonstrasi. Penyebutan sebagai bendera demonstrasi tentu lebih akurat daripada membawa-bawa Islam atau Rasulullah dalam pemakaian atribut yang konteksnya di luar konteks yang disunnahkan oleh Islam itu sendiri. Wallahu a'lam.
www.nu.or.id | Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja NU Center Jember.